Kamis, 28 Desember 2006

Oops, it happens again!!







Januari 2001, berencana naik haji, bareng suami. Anak akan dibawa saja. Tahun itu, muslim di UK akan haji 'ngoboi' semua urus sendiri.


Syawal, positif. Lahir Muhammad September, sehari sebelum WTC tragedi.


Desember 2002, berencana lagi. Sudah daftar ke travel. Sudah bikin appointment suntik meningitis. Sama nurse, karena jadual tamu tinggal lima hari lagi, disuruh kembali pas tamu datang.


Tamu nggak datang. Lahir Wafa Agustus 2003.


Oktober sudah ngincer travel dan merancang segala keperluan. Apply extension visa UK dulu, karena visa kita hanya sampai Desember ini. Udah bayar biaya haji ke travel. Udah pembagian kelompok dst.


Termasuk, sudah suntik meningitis.


Quite optimistic. Insya Allah, tahun ini berangkat.


Harapannya paspor dikembalikan home office pertengahan Desember. KArena, mereka tidak mau memproses di one day sevice. Jadi, via mail service.


Ditunggu Kamis (Senin grup berangkat), paspor nggak datang juga.


Yaaa, nggak jadi lagi deeeeeh.


Rejeki Allah, positif.


(Suntik Meningitisnya...gimana ya?....)


Insya Allah, yang keempat, sampai deh ke Al Haramain.


Amiin.


 


Belagunya lidah







Pertama, maunya yang serba goreng atau tumis. Bikinlah nasi goreng....bahkan bela-belain bikin mie goreng sebelum makan!


Setelah itu, enegh sama bau onion goreng, he he he.


Ganti, maunya yang serba kuah. Bikin bakso deh, sesore-sore hari. Pedes, asem tomat, daun jeruk, sama kecap. Enaaak. Dua kali tahan sama yang kuah-kuah.


Trus, ngeliat sisanya di panci, enegh.


Trus serba seafood. Udang dan smoked herring. Sampe bela-belain ngemil herring (sembunyi-sembunyi).


Dua hari kemudian, ngebaui sisa goreng herring, asli ENEG!!


Semprotin rumah sama pengharum ruangan, masiiih aja. Akhirnya ngebuang minyak bekas penggorengan. Baru, agak mendingan.


Trus, balik ke bakso. Sekali, oke. Esoknya, neg!


Kemarin, malah yang kebayang, mash potato, sama tuna mayo, pake cheese on top. Kayaknya kok enak.


Bela-belain bikin menjelang Maghrib. Arik juga suka. Muhammad juga. Wafa cuman makan tuna mayonya doang.


Pas sahur, ngeliat mash potato, enegh lagi deh.


UH HUH!! Lidah belagu!!


 


 


Sabtu, 09 Desember 2006

GUILTY!!! (feeling)







Ketika anak satu, nyampe di UK pas dia usia 4 bulan, saya punya banyak kesempatan untuk menjajal serba-serbi UK. Mulai dari yoghurt segala jenis. Coklat serba rasa, sampai segala minuman kopi aneka rupa. Pokoknya generous lah sama diri sendiri. He he he. Kalau suami paling liat atau kadang ikut icip-icip.


Punya anak dua, atau sejak yang pertama mulai suka dengan yoghurt orang dewasa, udah deh. Segala jajan Umi stop. Semua untuk bujang dan gadis. Beli cream caramel, Umi cuman masukkin ke packlunch boxs doang. Nggak pernah makanin. Kalau nyendokkin yoghurt, Umi nggak tega untuk minta. Kecuali kalau Abi ngambil satu pot, ya, udah, semangat minta disuapin. He he he. Banyakin yang disuapin daripada yang ngambil ke fridge.


Bahkan ke buah segala!! Kalau musim paceklik, beli buahnya khusus mereka saja.


Tak terkecuali free lunch Umi dari tempat kerja, dibekelin pulang untuk bujangs.


Kalau belanja baju dan sepatu, juga nggak ngitung kalo ke anak dan suami. Giliran ke diri sendiri, ke charity shop, yuk?


Baru kemarin merelakan diri belanja sepatu. Itu juga karena sepatu yan dipakai sudah koyak, masuk air kalo ujan.


KAdang ada sih 'gugatan' ke dalam diri.


"Ayo Emak-emak....jaga kesehatan. Walau dah mak-mak, perlu juga calcium. minum susu dong. (Kilah: susu mentrigger asma....halah), makan sayur dong...(iya, iya....tapi nggak sempet masak...dah gitu Abi nggak terlalu suka sayur yang dimasak...halah lagi.)


Kemarin, karena tergoda, namun juga karena sok 'british tulen', terperangkap di winter market, dan merelakan uang 6 pon something ( 6 pon!! ) untuk dua bungkus kecil pinachio dan walnut.


Adanya GUILTY!!! Perasaan yang nggak ilang walau sudah menghibur diri, bahwa bulan ini ada rejeki lebih.


Hh.


Ever felt that way?


Sabtu, 02 Desember 2006

Evolusi Pandangan(ku) Poligami







Evolusi Pandangan(ku) Poligami


Ketika masih gadis ting ting, usai mentoring sama Mbak Tiwik, saya, Ela, dan lain-lain diskusi masalah poligami. Intinya, kami sepakat.


Maka kami lalu 'berbagi' tugas. Euis ahli masak, maka Euis kosentrasi ke sana. Saya akan banyak aktivitas di luar. Ela yang banyak menemani suami keliling. Masih ada satu 'tempat' kosong. Maka kami menawarkan 'suami' pada Umi -mahasiswi asal Malaysia.


"Aku mau jadi istri keempat, kalau dia sudah menceraikan kalian semua."


Ketawa lepas semua.


Ketika sudah mulai aktif, saya masih memegang konsep yang sama. dengan seorang sahabat malah saling menawarkan, nanti mau berbagi suami tidak.


Ketika sudah menikah dan boyongan ke UK, saya masih pro poligami dan menawarkan pada suami seorang sahabat yang masih sendiri.


"Kalau keuangan kita memungkinkan, maukah Abi mengambil sahabat Umi? menolong dia?"


JAwaban suami nggak tegas. "Gaji dosen barapa sih Umi? Pandangan masyarakat bagaimana?"


Lalu poligami hilang dari diskusi. Karena sahabat itu sudah disunting seorang pria yang beruntung. Juga karena kami masih di UK. Jauh dari hiruk-pikuk aktivitas.


Sampai setahun lalu, angin poligami berhembus sampai ke Britain Raya. Saya masih cool dan 'why not' gitu loh.


Namun, beberapa cerita, sungguh, hm, kayaknya harus dikaji ulang nih posisi pendapat saya.


Jika istri pertama dan keluarganya sampai menteror calon istri kedua, jika istri pertama stress dan menutup diri, jika istri pertama malah meminta berpisah, jika anak-anak tersiksa....jika secara ekonomi malah dua-duanya istri menopang bahtera rumah tangga, sedang suami tenang-tenang saja;


bagaimana mungkin seorang kekasih, belahan jiwa, kepala rumah tangga meneruskan niatnya? membangun rumah kedua dengan menghancurkan rumah pertama?


Mengasihi yang kedua, namun menyakiti yang pertama? Tak punya kemampuan ekonomi bahkan untuk mencukupi yang pertama?


Aduhai...


Lalu di mana baiknya?


Apakah saya rela berbagi suami?


Kata suami, "Umilah yang pertama dan terakhir."


Saya tidak tahu jalan hidup ke depan. Namun harapannya, semoga kami bersatu kembali di surga.


 


 


 


 


Flirty Bucthery


Napa ya?



What's wrong with my attitute?


Dulu saya selalu belanja daging di AM,  toko milik teman Da An -suami. Orang Libya. Sekarang, tokonya dikelola orang lain.


One day, kok, butchernya jadi sangat perhatian gini. Nanya macam-macam. Ketawa dan seterusnya. Tatapannya juga...


Aduh, jadi ngeri!


Nggak pergi belanja sama anak-anak. Soalnya langsung dari tempat kerja.


Sereeem.


"Umi nggak mau ah Bi, kalo belanja tanpa Wafa."


"Kenapa?"


"Supaya orang tau Umi ibu-ibu yang sudah berkeluarga." Lalu cerita tentang butcher ajaib itu.


Sejak itu, saya tak pernah belanja ke sana.


Bersamaan dengan Medina, toko dekat rumah, dapet sertifkat halal dari Wales.


Ya, sudah, ke Medina saja.


Tapi, alamaaak. Saya sudah kenal sekali dengan semua butcher di sana. Ada empat. Mereka pasti hapal saya sering datang dengan tiga anak. Memang, malam itu saya nggak sama anak-anak. Biasa, pulang kerja.


Tapi,...adddoh, napa jadi ada yang flirty gene?


Saya memang biasa nanya, "How are you brother?" Tapi, mah, kan pertanyaan biasa. Saya juga nggak senyum-senyum genit kok.


Pas saya lagi dengeer radio. Masa, berani-beraninya minta denger saya lagi denger siaran apa?


Asli, takjub dan sebel.


"Umi nggak mau Bi, belanja daging di Medina.Abi saja." Nyampe di rumah dongkol itu masih bersisa.


"Kenapa?"


"Ada yang ...flirty."


Saya nggak yakin suami ngerti kata ini.


"Siapa? yang di kasir?"


"Ah, mereka mah baik. Bukan. Yang bucther."


Ya udah, walau segan dan sungkan akhirnya cerita.


"Kan nggak pantes, Bi."


Suamiku setuju.


Tadi, di sekolah, ada lagi kejadian yang bikin saya terpaksa melihat ke dalam diri.


Ada apa dengan sikapmu, Imun?


Kenapa mereka jadi flirty sama dirimu? How did you look and smile? How did you carry yourself?


Apa perlu bawa poster? 'Happily married woman with three children?"


Nelangsa. Sungguh. 

Sopir Bus Congkak







Sehari-hari saya loncat naik dan turun bus. Nomor 12 paling dekat menuju city centre. 32 juga, cuman 32 bus kecil, tak low liner. Pushchair tak bisa naik, kecuali dilipat. Dari citycentre, menuju tempat kerja yang sekolah bisa naik 80, 81, 38, atau 1. Ambil dari Odeon. Tempat kerja yang bersih-bersih, dilanjutkan dengan naik 30.


Namanya naik nomor tertentu, jadi hapal lah sopir-sopir yang nyupir jam-jam tertentu. Kalau pulang, biasanya bus 12 disopiri gadis cantik, blonde, curvy dan murah senyum.


Kalau pagi, bus 12 sering sama Bapak Pakistan yang pernah ngomelin saya. Gara-garanya, saya nggak menemukan karcis. Saya kira di saku tas, nggak ada. Bolak-balik cari dalam tas.


Panik.


 Baru ketemu di saku jaket. Saya baru ganti tas.


"Kalau mau naik, siapkan dulu karcisnya," omel Uncle. Mata itu tak ramah.


Dongkol juga. Karena, saya selalu siap dengan karcis di tangan.


"I just changed my bag this morning. I forgot, I put the ticket in my pocket instead."


"Next time, have it ready before you get on."


Yaa, Uncle. Ini kan baru sekaliii.


Pas turun, karena masih sakit hati, saya jalan saja, kayak sebagian besar anak muda di sini. (Kalau pergi  kerja, seringnya saya saja yang bilang, "Thank you." Sisanya, loncat dan kabur. Tapi, kalo perginya siangan, bareng generasi tua, sudah bisa dipastikan, "thank you" dan senyum ada di setiap bibir. Hayo, kenapa?)


"Thank you,"teriak Uncle di belakang saya.


Dih, Uncle. Nggak kebalik?


Manyun sendiri.


Nggak tau juga ya....pagi itu saya tidak bisa berbesar jiwa, he he. (Mungkin, PMS kaliii) Soalnya, ada yang lebih sadis dari beliau, sopir bus 1. Saya memang sudah berdiri di Northumbria Uni. Ini karena, saya agak jera berdiri pas bus menikung dan menurun. Asli, kalau tidak kuat memegang rail, terbanting kiri, kanan, depan belakang. Kadang, melihat kita terpapar kiri kanan itu, sopir tersenyum tipis. Jadi su'udzhon, jangan-jangan, sengaja. Hi hi hi.


Bapak tua itu memberhentikan bus di depan NU.


Trus beliau melihat saya. Lha, jelas saya kaget dan panik. Mau turun, masih satu setopan lagi.


"I did not press the button." Sungguh, tangan saya jauh dari tombol itu.


"But you stand up!" Sopir murka.


Alamaak. "Sorryyyy."


Mendengus sang sopir menekan gas. Hampir membuat saya terjungkal.


Saya bergeser mendekat cubiclenya ketika akan turun.


"Thank you very much for your kindness. You stopped for me , even I did not press the button. That's very kind of you. I am sorry that I troubled you. Thank you."


Wajah yang tadinya bersungut itu berubah ceraaah sekali.


"It's okay, love. Tara now."


Di sini, Geordies, biasa memanggil sesama dengan pet, love, darling, bonny lass etc.


Pertama dipanggil gini sama sopir yang nganterin komputer kita 6 tahun lebih lalu. Thank you love. Are you American, Lovie? (Karena aksen saya masih sangat Amerika saat itu). Duh, telinga saya gatal denger 'love' dari a complete stranger. Suami aye aje nggak pernah dah panggil 'love'.


Sekarang sih dah kebal. Biasalah dipanggil pet (binatang peliharaan, ha ha ha), atau sunshine, atau lass (anak gadis...udah emak-emak loo), atau darling, love, dsb.


Eniwei, yang ingin saya ceritakan menyangkut orang lain. Pagi, beberapa hari lalu, sepasang suami istri Arab naik bus setelah saya. Sang istri berwajah muram. Suami minta tiket single dan satu return. Istrinya disuruh suami duduk ke dalam, sementara suami membayar karcis.


"No change," kata sopir. Sopir yang agak bongsor dan botak.


Biasanya, kalau nggak ada kembalian, disuruh duduk, nanti kalo ada kembalian diberikan balik. Dulu saya begitu. Uang 4 pon masih sama sopir. Pas mau turun, uang dibalikkin.


Tangan saya sudah mencari dompet. Kalau-kalau, yang sopir ini tak mau begitu. Soalmnya, sopir ini temasuk yang judes.


"No change." Kali ini suara sopir lebih ketus. Nah kan?


Suami memanggil istrinya dan mereka kembali keluar.


Telaaat. (Mikirnya lamaaa amat, Mun!)


Pas ngeliat wajah gelisah suami istri itu, kemuraman istri yang makin jadi, sungguh hati saya perih. Mereka bisa saja punya janji ke dokter.


Ah, Mun. Lain kali nggak usah nunggu lama, gimana sih?


Dulu, ibu-anak Arab juga ketimpa masalah yang sama. Saya yang kebetulan duduk di depan pintu masuk, buru-buru mengeluarkan uang.


Anak gadis itu kaget. "It's okay, thank you. It's okay."


Dia dan Ibunya kembali keluar. Dengan wajah agak menang, sopir melaju, meninggalkan ibu-anak yang melihat jam tangan mereka.


Maksud saya, nggak usah minjam. Ambil saja. Daripada nunggu bus berikutnya yang masih lama.


Kemarin, nenek tuaaa sekali, naik bus. Beliau mengeluarkan pas bus warna merah. Tak jelas percakapan mereka.


"1.50."


"What?" Jelas Nenek kaget.


"One fifty."


Tiket sudah tercetak, tinggal diambil.


Nenek nampak sangat enggan membuka dompetnya.


"I thought, I got freebus to go hospital, like usual."


Certain people memang gratis naik bus. Nenek-kakek, disable people, bisa gratis naik bus.


"You did not mention you wanted to go hospital." Ketus sekali.


"But I go to hospital."


Kasihan Nenek ini. Mestinya ada yang menemaninya ke sana.


"I printed the ticket for you. One fifty." Wajah sopir tak mau tahu.


Wajah Nenek itu nampak enggan sekali. TAngan beriput itu membuka dompet. Lamaa.


Per pekan, mereka, pensiunan, hanya dapat state pension sebesar 75 pon. Kadang lebih, kadang kurang. Semua dari situ. Banyak, pensiunan UK yang hidup kelaparan, kedinginan, tak ada yang peduli. Jika tinggal di nursing home, banyak hidden abuse. Kalau mau masuk care home yang baik dikit, terpaksa menjual rumah.


 Ingiiin saya membayarkan ongkos itu. Tapi, masih berdebat antara 'anak jilbab = muslim yang agak teroris itu membayarkan nenek bule'. Gimana keliatannya? Sedang bule tidak terbiasa dengan budaya 'traktir'. Boyfriend-girlfriend saja sering bayar ongkos sendiri-sendiri.


Nenek melemparkan dua logam pound. Wajahnya agak frustasi.


Dengan wajah cuek sopir mengambil uang itu.


U uh, pengen ngegampar sopir ini.


Nggak ada bedanya bagi dia  berapa banyak uang yang dia bawa ke kantor. Dia digaji sama per jamnya. Kenapa nggak lebih lunak sedikit? Toh, karcis yang sudah keluar itu bisa dibatalkan lagi? Saya pernah lihat karcis yang sudah jadi dibatalkan dengan karcis berikutnya.


Kejadian yang sama beberapa waktu lalu menimpa sepasang kekek-nenek.


Pasangan ini berkata mereka mestinya bisa gratis naik bus ke rumah sakit. Sang sopir dengan congkak berkata, tidak.


Ya Allah, kadang hati itu membatu.


Pasangan tua di depannya bisa saja suusia Bapak-ibunya. Nenek di depannya bisa saja seusia neneknya. Tidak adakah belas kasih?


Bukankah, secara hukum, nenek-kakek bisa naik bus gratis? Memang harus pakai concessionary card, tapi, tak semua nenek-kakek melek peraturan ini. Mereka pikir dengan red card biasa, mereka bisa tercover. Lagian, siapa yang suruh merubah peraturan berkali-kali?


Orang tua seperti mereka jarang keluar rumah, jarang dapat info.


Wajah tua itu mengerut. Mungkin, uang 3 pond yang mereka berikan adalah uang pembeli roti mereka pekan itu.


Mungkin 1.50 itu adalah uang nenek untuk membeli telur dan susu.


Britain!!


 Kalau kita tak menghormati generasi tua kita, yang berpuluh tahun lalu memapas jalan untuk masa depan kita,....kehancuran lah buat kita.


Mau jadi sopir, nggak bisa nyetir.


Uh!