Selasa, 20 Maret 2012

Cappucino Contekan

Description:
Enggan menghabiskan 2,5 pound untuk cappucino Pret a Manger? Coba ini


Ingredients:
Susu murni satu gelas, kopi instan 1,5 sdk teh, gula dan bubuk coklat secukupnya.

Directions:
Segelas susu, panaskan di microwave...sampai hampir mendidih...
Masukkan gula, aduk. Masukkan satu setengah instant coffee, biarkan mengambang di atas susu.
Masukkan lagi ke microwave, sampai susu berbuih.
Aduk.
Taburkan bubuk coklat di atasnya...
Rasanya mirip cappucino pret a manger kok....dan murah pula :-)

Kamis, 02 Februari 2012

Buku Lama yang Baru




Rahasia Dua Hati edisi revisi. Ada tambahan dan pengurangan. Lebih dekat dengan realitas karena amatan 11 tahun akan budaya negeri Ratu Elizabeth (hidup bersama mereka 9 tahun)
Sedang proses cetak...

Minggu, 29 Januari 2012

TKW? Iya? Bukan?

TKW…? Bukan? Iya?
Setiap melewati Dubai, saya selalu mendapatkan pengalaman seperti ini.
“Kerja di mana?”
“Sudah berapa lama kerja?”
“Pulang liburan?”
Tidak ada masalah. Nilai saya tidak terletak pada pandangan manusia.
Yang hendak saya tulis adalah ‘kebingungan’ orang lain ‘menempatkan’ saya pada kepulangan lalu.
*Pakaian: Rok hitam lebar di dalamnya celana jins. Baju batik coklat dengan jilbab coklat. Tas kabin yang berisi laptop, e-reader, buku dll.
Begitu turun di Dubai tengah malam, saya mencari mushalla. Di dalam sudah ada hampir sepuluh muslimah. Ada yang sholat, ada yang tilawah, banyak yang tidur –walau di sana ada larangan tidur dalam mushala-.
Sejam dua jam dalam mushala, saya memutuskan mencari minuman panas sekaligus colokan untuk charger laptop. Artinya, sebelumnya mencari money changer dulu. Uang Singapur dan Amerika yang selama ini menuh-menuhin dompet berhasil ditukar. Jajan deh.
Di dalam supermarket, lima pemuda yang ngobrol dalam bahasa Indonesia seakan-akan ‘menempeli’ saya. Entah kenapa. Apa karena saya berani ‘jalan’ sendiri? Sedang mereka berkelompok? Entahlah. Saya memutuskan menjauh dari kelompok pemuda itu karena tidak nyaman.
Colokan berhasil ditemukan di dekat lantai berjalan, di gate 223. Strategis karena gate pesawat ke Jakarta di 220. Akhirnya menjelepok (bahasa Minang), bersila di lantai. Keluarkan laptop dan e-reader kindle, letakkan di atas tas kabin dan mencoba menulis satu dua paragraf tulisan ilmiah sambil mendengarkan nasyid melalui earphone.
Reaksi orang?
Mulai dari lantai berjalan di kiri sampai masuk ke lantai berjalan di kanan, orang-orang merasa perlu menatap, mengamati, memperhatikan saya. Banyak wajah heran, penasaran dan –lucunya- bingung.  Kalau heran, hm, cukup beralasan. Perempuan, sendiri…demikian cuek dengan sekitar. Penasaran juga lumayan logis…apa sih yang sedang dia  lakukan? Apa yang sedang dia tulis dan dia dengarkan? Nah, bingung….ini yang agak sulit saya cari alasannya.
Kenapa bingung melihat saya?
Karena pakaian saya seperti TKW tapi tingkah tidak mirip mereka?
Hahah.
Apalagi ketika dua gadis British keturunan Pakistan ikut bersila di sebelah saya, menggunakan colokan satunya. Karena berasal dari kota yang sama, Newcastle, kami berbincang lumayan seru. Biasa, diskusi tentang wifi –internet addict- dan waktu transit yang lama dan alasan mereka ke Pakistan (menghadiri pernikahan pamannya).
Semakin banyak wajah bingung dan penasaran.
Bisa jadi karena Bahasa Inggris dua adik gadis ini sangat medok Geordie.   Atau bisa juga karena mereka juga tidak masuk stereotip gadis Pakistan.
Di dalam pesawat, demikian kental asumsi berdasarkan penampilan itu.
Seorang perempuan paruh baya yang duduk di sebelah, begitu menghenyakkan badan, pertanyaan pertamanya adalah, “Kerja di mana?”
Saya tergoda untuk menjawab, “Unpad.” Hanya saja, saya mencemaskan pertanyaan  selanjutnya, “Unpad itu kota Negara bagian mana?”
I am that bad, you know.
Demikian juga saat antri keluar imigrasi di Soeta…saya didekati beberapa perempuan yang bertanya bagaimana cara saya menggunakan kartu HP ‘itu’? kenapa kartu mereka tidak bisa aktif sedang saya bisa?
Kartu ‘itu’, kartu yang dibeli di Jeddah dan dijanjikan bisa digunakan di Indonesia untuk menghubungi keluarga di tanah air.
Hm, lidah saya agak kelu menjawab bahwa kartu saya dari Inggris dan sistemnya bayar bulanan di depan.
Lesson:
Begitu mudah kita ‘berasumsi’ dalam berkomunikasi.
Karena di Dubai…. Jalur dari Timur Tengah menuju Jakarta…wajah Indonesia –apalagi pakai batik dan sepatu plastik- dia TKW. Sikap dan perilaku kepada orang disesuaikan dengan ‘kelas’ tadi.
TKW juga ada ‘kelas’…
Kelas modern: sepatu boots tinggi dengan jins ketat, baju kaos yang ukurannya lebih kecil daripada badan, rambut diikat, make-up tebal dan dagu yang diangkat. Biasanya jalan sendiri.
Kelas sederhana: Baju hitam dengan jilbab biasa. Tidak terlalu terlibat dengan sekeliling. Nampak cukup pede dengan diri sendiri.
Kelas tradisional: Baju hitam atau warna lainnya, jilbab kadang berupa mukena putih yang melambai-lambai, berkelompok dengan wajah sedikit tegang atau bingung. Jika wanita muda, biasanya memakai rok/celana longgar tanpa make-up.
Melihat pakaian, saya masuk TKW kelas sederhana, hahah.