Jumat, 11 Desember 2015

Natal dan Mencintai Yesus Sepenuh Hati



Setiap Desember, diskusi ini pasti terulang. Ada fatwa yang membolehkan mengucapkan ‘merry christmas’ pada selain Muslim. Fatwa ini dikeluarkan Dewan Fatwa Ulama Eropa. Ketua DFUE ini Ust. Yusuf Qardhawi. Wilayah berlaku fatwa adalah Eropa. Landasan pikirannya, natal di negara barat adalah tradisi masyarakat yang dilakukan baik oleh yang beragama kristen atau tidak, percaya tuhan atau tidak. Pembolehan pengucapan inipun ada alasnya, ‘jika hubungan akan menjadi kurang baik jika.....maka...’.

Pun begitu, kami, Muslim di Inggris, memilih mengucapkan kalimat-kalimat netral seperti, ‘Have a merry holiday’, ‘Have a happy holiday’. Saya biasanya akan bertanya, ‘How is the turkey? Have you bought one yet? Have a good time’. Saya senang mereka punya aktivitas istimewa. Itu saja.
Di Indonesia, saya sepakat dengan pendapat Buya Hamka. Perlu pembedaan jelas antara tradisi agama Islam dan agama bukan Islam. Jika tidak, saya kuatir, dari sekedar menyanyikan lagu-lagu, akan terbawa pada perayaan natal bersama, akhirnya masuk agamanya.

Saya contoh nyatanya.

Saya punya sahabat. Namanya Ida Sianipar. Dia Protestan. Kami pulang sekolah selalu bersama. Ida tinggi dan besar. Saya pendek dan kecil. Jika naik buskota, ongkos 75 rupiah, Ida membayar 50, saya membayar 25. Saya duduk di pangkuan Ida karena bisalah dianggap saya adik Ida.

Saya pecinta buku dan senang musik. Saya meminjam buku bacaan Ida. Buku yang dia pinjamkan adalah....eng ing eng..Buku Kelahiran Jesus. Jelang natal 1985 itu, toko-toko dan tivi memutarkan musik rohani. Saya sampai hapal lagu-lagu itu. Karena saya suka musik, pergi dan pulang sekolah saya sering menyenandungkan lagu natal. ‘Malam kudus...sunyi senyap...’

Pada natalan itu, saya lupa apakah saya yang meminta...ataukah saya diajak oukumene di GOR Don Bosco Padang. Perayaan natal bersama. Saya pergi dengan Ida dan keluarganya. Tragisnya, Ibu dan Bapak mengijinkan....Begitu saja.

Mereka tidak tahu, saat itu saya sedang menimbang-nimbang untuk masuk Kristen atau tidak. Alasannya? Kayaknya seru saja. (Ingat, bacaan bertema Kristen dan lagu rohani Natal lebih dulu masuk dalam memory saya sebagai anak-anak).

Saya mundur dari agama Kristen karena penjelasan Ida tentang satu itu tiga, tiga itu satu tidak bisa saya terima secara logika. Halaman pertama injil memang menyuruh saya untuk tunduk dan tidak banyak bertanya. Tapi, da atuh kumaha? Tiga mah tiga, satu ya satu.

Dengan demikian, melihat pengalaman Maimon kecil, bagi saya perlu ada pembatasan jelas masalah natal (mengucapkan selamat atau tidak) dan mengikuti/menyimak lagu-lagu rohani gereja. Ibaratnya, lagu rohani gereja itu mirip tilawah Qur’an lah.

Saat menjadi orangtua Muslim di negara minoritas Muslim, setiap Natal dan Paskah, saya menarik anak-anak dari sekolah untuk menghindari pelibatan mereka pada kegiatan berbau Natal atau Paskah.
Dua tahun demikian. Sepertinya pola absen panjang itu dibaca pihak sekolah. Saya diajak bicara Mrs Ahmad, school liason officer. Sekolah punya kepentingan mengejar target kehadiran maksimal murid. Absen lama seperti Arik dan Muhammad jelas merusak target sekolah. Saya jelaskan alasan saya. Sekolah dan saya bersepakat, saat natalan, Arik dan Muhammad akan diberikan kegiatan khusus tersendiri.

Setahun demikian. Tahun berikutnya, sekolah mengubah ‘Christmas Party’, menjadi ‘End of Year Party’. Lagu-lagu natalan diubah menjadi ‘folk song’. After all, 65% murid sekolah itu besar kemungkinan Muslim melihat emak-emak berkerudung yang mengantar anaknya. Tahun berikutnya, Ied Day dijadikan libur sekolah dan dibuatkan assembly Muslim segala. Ramadhan Club juga mulai ditawarkan pada siswa Muslim.

Alhamdulillah.

Saya sendiri, di kantor selalu menghindari perayaan natal. Hadiah Natal (biasanya wine), tidak saya ambil. Jika sudah dimasukkan ke dalam loker saya, maka akan saya bawa pulang (sembari deg-degan...kalau mati di jalan bagaimana?) dan buang isinya.

Diskusi tentang akidah sering terjadi karena sekolah tempat saya bekerja sebagai teknisi lab Kimia itu dasarnya ‘pastoral school’, walau lebih cair dibanding sekolah St Mary. Dua gurunya saya tahu Sunday School teachers. Satu Anglikan, satu Katolik. Dengan guru Sunday School Anglikan, hubungan saya bahkan sudah seperti bapak dengan  anak.

Mereka kaget saat saya jelaskan, saya mencintai Yesus alaihissalam seperti saya mencintai Muhammad SAW. Ini perintah Quran. Muslim dilarang membeda-bedakan mereka, para Nabi (Al Baqarah).

Ini hal baru bagi mereka. Salah satu teman dekat menjelaskan pada anaknya yang mengucapkan natalan pada saya, ‘Maimon doesn’t celebrate Christmas, although she is a bit of a Christian.’

Nyengir. Jadi?

Balik ke Indonesia. Saya saksi hidup operasi misionari di Padang. Akan banyak teman-teman Padang bsia testimoni.

Libur 1994 itu (mungkin 1995), saya sedang memotret jembatan di Air Tawar menggunakan kamera Yashica manual saya. Biasa lah. Anak Jurnalistik hampir selalu jadi gila memotret. Sepanjang saya jepret-jepret, saya sadari satu pemuda mesjid (jenggotan) yang bersepeda, mengikuti saya pelan-pelan. Ini tentu saja menjengkelkan. Saya tidak suka ini.

Sorenya saya berkunjung ke El Zahra, rumah Uni Nurna Eva Karmila dan Ustadz Marfendi Maad. Akhwat di sana sempat cekikikan, tertawa-tawa. ‘Imon mirip banget lo sama Mala (kalau tidak salah ini nama generiknya). Warna gamis dan jilbabnya juga. Postur juga.’

Dari mereka, saya tahu, beberapa minggu sebelumnya, Padang digegerkan oleh sekelompok gadis bergamis hijau dengan jilbab lebar. Pakai lipstik. Di jilbab atau bahu ada pita. ‘Akhwat gadungan’ ini beberapa kali ‘pingsan’ di depan kos Ikhwan, atau di lokasi ramai ikhwan. Saat ‘diselamatkan’, ‘sang akhwat gadungan’ memeluk penolongnya. Ya, mungkin, tujuannya dengan peluk memeluk itu adalah merusak ketentraman jiwa ikhwan lah yaw.

Akhwat asli melakukan berbagai ‘investigasi’...sampai memeriksa tas ‘akhwat gadungan’ ini. Terdeteksi, ‘akhwat gadungan’ berasal dari sekolah teologi di Jakarta. Akhwat juga pernah melabrak ‘akhwat gadungan’ ini dsb.

Ustadz dan ustadzah di Padang lalu mengeluarkan juknis, ‘Jika melihat perempuan berjilab dengan ciri-ciri sebagai berikut, maka, ikuti dari jauh....perhatikan apa yang dilakukannya. Laporkan pada nomor-nomor berikut ini’.

Saya mirip Mala. Jadi, Sang Ikhwan mengikuti perintah juknis tersebut.
Bwahaha.

Pada saat yang bersamaan, saat ikhwan dan akhwat repot dengan ‘akhwat gadungan yang penyakitan’ ini, terdengar ada pesantren kilat di Pasaman (atau Painan ya?), diselenggarakan lelaki berjenggot dan perempuan berjilbab lebar di satu SD.

Orangtua murid yang ingin tahu kegiatan anaknya sempat terpelongo saat melihat dari luar.
Ada gambar mesjid di depan kelas. Kakak jenggotan bertanya pada adik SD. ‘Ini gambar apa?’
Adik SD menjawab, ‘Mesjiiid’.
Kakak mengatakan, ‘Iya. Yang masuk ke dalamnya bodoh.’

Saya tidak akan berpanjang-panjang cerita tentang mie kotak, beasiswa dan pembaptisan. Sudah banyak yang cerita.

Jadi, di Indonesia, sangat layak ada ‘BATAS’ jelas antara akidah. Toleran tak lantas harus mengucapkan selamat natal. Bagi saya toleran adalah keadilan memerlakukan mahasiswa semua agama atau tak beragama. Nilai yang adil. Kasih sayang sebagai guru yang sama, terlepas apa agama mereka.

Jadi, sepupu kami, Kristen dan Katolik....Kami mencintai Yesus alaihisslam (atau Isa dalam bahasa Arab), sebagaimana kami mencintai Muhammad Rasulullah SAW. Semoga banyak di antaramu nanti yang digelari Allah sebagai Al Hawariyun. Wallahu’alam.