Jumat, 23 Desember 2005

Percakapan Kakak dan Adik di Tengah Malam

Malam itu, sudah jam 9. Suami baru saja keluar pintu, berangkat kerja ke Royal Mail. Tiga pekan ini, beliau akan kerja Christmas Casual. Shift kerja dari jam 10 malam sampai jam 6 pagi, . Dengan demikian, sejak abi mereka kerja, anak-anak mundur tidur malam sampai jam 9. Nungguin abi berangkat


Wafa dan Arik sudah melompat ke tempat tidur masing-masing, ketika Muhammad yang tidur sore bangun. Terpaksa, umi yang sudah siap memejamkan mata ikut bangun.


"Pipis Bang?"


Muka dengan mata setengah tertutup itu mengangguk.


Kita keluar kamar, diikuti Wafa yang kembali lincah. Muhammad pipis.


"Are you hungry? Would you like to have something to eat? Mau makan Bang?'"


Muhammad belum makan malam sedikitpun.


Mata itu belum sempurna terbuka. Dia menggeleng.


Saya mengeluarkan digestive biskuit dan menyiapkan segelas air hangat. "BAng, ini biskuit,  kalau abang mau. Ini minum. Oke? Umi panek, Umi bobo dulu. OKe? NAnti kalau sudah selesai makan, Abang bobo ke kamar oke? Bawa adiknya. Ya?"


Dia mengangguk, sambil menjulurkan tangan ke biskuit itu.


"Afa mau cookies."Wafa teriak.


Heran deh, sudah semalam ini masih lincah.


"Can I trust you to take care of your sister, Bang? Because Umi want some sleep now?"


"Oke Mi." Muhammad sudah bener-bener 'jaga'.


Saya meninggalkan mereka dan membaringkan badan yang demikian penat. Nafas Arik terdengar teratur. Dia sudah lelap.


Saya mengulang-ulang dzikir.


Di luar terdengar suara percakapan dua anak mungil.


"I want to sleep, Mi." Tiba-tiba seseorang di samping saya. Muhammad.


"Loh? Adiknya mana?"


"Outside."


"Kok ditinggal? Ajak adiknya tidur, Bang."


"Oke."


Dari luar terdengar....


"Come on Wafa...Bobo."


"Si ada."...maksudnya 'masih ada'...cookiesnya.


"Ayo, habiskan kuenya."


"Oke Mamad."


Hening.


"Udah?"


"Lap Mamad." Wafa super bersih. Dia selalu minta dibersihkan tangannya. Lap...lap...lap... Apalagi sehabis makan digestive biskuit yang ada coklatnya.


Tidak ada jawaban.


"Mamad, lap."


Diam


"Lap Mamad." Kalimat dua versi ini diulang Wafa 5 kali. Mamad, lap. Lap Mamad....


"The door is closed." Akhirnya ada yang menjawab.


"Lap Mamad."


"Wafa, how am I going to get you lap? The door is closed. I can't open it." Pintu ke dapur memang sengaja saya tutup.


"Mamad, lap."


Terdengar elahan nafas. "Oke, lap sama baju Mamad aja, oke?"


"Oke."


Terdengar langkah kecil-kecil..


"Hm, ..."Hening.


"Lap sama baju Wafa aja, oke?"


"Oke..."


Ha ha ha ha ha



 

Rabu, 21 Desember 2005

Problem Christmas

Setiap Desember, saya dan suami selalu ketar-ketir. Suasana Natalan yang sangat kental disekolah. Ada play, party, ada pantomime...dsb. Di nursery Muhammad bahkan ada Christmas corner. Dua tahun lalu, saya merumahkan Arik 2 pekan sebelum natal.


Tahun ini, karena teaching assistant di kelas Arik muslimah berjilbab,saya berusaha diskusi dengan dia tentang  keberatan saya jika arik diikutkan dengan acara natalan.Ops, jawabannya, persis sama dengan tahun sebelumnya. "The rule is there is no exemption. We celebrate all religion festival. And children are asked to join in order to  teach them to be tolerant and bla bla.'


Saya mendekati guru Arik. Menyuarakan hal yang sama. Jawabannya juga sama. 'To be tolerant'.


"You see, I am not trying to teach my children to hate  Christian or whatever...We love Jesus. We believe what he taught came from the same source. But, I want my children to see it the way i want them see it. Not to puzzle them with the other way".


"Yes, But you see. The school rule is...." on and on tentang rule...


"I might opt for him to stay at home."


Gurunya kaget. "You may. But then he will be classified as absentee."


E ge pe.


"Will it be possible for me to see the kind of christmas activities and the hours they are held?"


"I will have to come back to you later with the paper."


Yang juga tidak ada....


Sebenarnya, saya berusaha mencari teman seide.


Pulang sekolah pagi itu(sebelum percakapan dengan guru Arik|),saya mendekati sister bercadar.Ada banyak juga sister dari Pakistan dan banglasdesh yang pakai cadar, hitam-hitam.Tentu dia termasuk yang tidak akan rela jika anak kita ikut perayaan natal.


Kalau parents yang lain, biasanya acuh wee.


Bayangkan, Arik dapat kartu natal dari Maryam,Khalid, Umar,Ibrahim,dsb(Selain dari Junaye, Effie,Bob). Gimana nggak melas.


 Saya dekati dia.Setelah basa-basi,saya mengemukakan keinginan saya untuk membuat grup parent opting out of christmas celebrating.


"You see, I feel that we have to voice our opinion together, because...."


"I am not speaking English. I am Bangladesh." Dua bola mata itu nampak tersenyum.


Yaaa. Akhirnya sekedar salam dan bye-bye. Nyengir aja deh. Sembari mikir juga...how can she survives...so far  without English?


Esoknya, saya mendekati orangtua Khalid. Dia dari Mesir. Pakaiannya sehari-hari jins,fleece jumper, kets,dan jilbab unyil. Dia baru saja mendaftarkan jenis makanan yang akan dia bawa untuk Chrismas party kelas Arik.


"What will Arik bring for party?"tanyanya.


"Nothing."


"He is not coming?"


"No."


"Why?"


Bilang tidak? BIlang? Tidak? Dia tersinggung gak jika saya omong?


Lama saya tatap dia. "It's haram,sister."kata saya pelan.


Dia langsung berhenti jalan. "What?"


Saya jelaskan fatwa ulama eropa blabla bla. 


"Astaghfirullah....why did not you tell me before?Ya Allah! I don't know! I wish you tell me before."


Saya meringis. Adduh deh Mun! Karena ngeliat tampilannya kan? Ternyata....


Siangnya saya bawakan buku fatwa itu. Diskusi semakin berkembang. Dia pikir, kalau orang dewasa yang ikut celebration, itu haram. Tapi kalau anak-anak, boleh.


"But ukhti, i know they are underage. Are not obliged to do wajib thing such as sholah. But, isn't it part of our 'tarbiyatul aulad'? To show them what is the true and the right thing from the beginning?"


Dia baru aware...


Kita bicara setengah Inggris,...setengah pakai term Arab...


"Buku itu  bahkan dicetak dipercetakan kota suaminya!! Zainab something.


"I will ask my friend to get me this book."


Alhamdulillah.....Allah jugalah yang membukakan hatinya.


Eniwei, Arik dan Muhammad akhirnya saya rumahkan sejak sepekan lalu. Siang tadi saya ditelpon 'family liasson officer' Mrs. Ahmad, menanyakan Arik dan Muhammad.


"Arik had a high temperature. So, thinking that he might bring with infection to school,...bla bla." 3 Hari Arik memang minum paracematol. Tapi Muhammad is okay.


"Is there any problem with Christmas?"


Ooo, here we go...


Ya udah....I poured my heart out...ttg guru yang nggak komunikatif...dst...


Akhirnya, beliau janji kita ketemu lagi next term...


"We don't want the children to be left out of school, you know. Easily we can discused it. Arik can be given something else to do...if there is a christmas event in his class.. It will be difficult for the small one.But,as we say, Arik will be okay."


Napa nggak dari kemarin2 atuuuh.


Grrr.


Mrs.Ahmad, janji ya...anak-anak aye kagak dipaksa ikut natalan.


 


 

Senin, 12 Desember 2005

'KRL Jabotabek', a la Inggris

 Menjelang liburan nasional seperti natal, tahun baru, atau libur anak sekolah, biasanya transpor umum membludak. Namun, selama di UK, baru sekali kami mengalami disarden dalam train. Duluuu sekali, tahun 2000. Itu juga karena train sebelum dan sesudah yang kami naiki di cancel karena masalah teknis. Jadilah, peminat 3 train terpaksa berjejal di dalam satu train.
Tapi, karena pushchair masih bisa masuk, at least, Arik masih bisa duduk. Sedang saya dan Pak Andri berdiri desek-desek.
Akhir pekan lalu, kami sekeluarga ke huddersfield. Pulangnya masih siang. Biasanya, dari Hudd jam segitu, train masih lapang.
Namun, ternyata, tidak. Begitu banyak orang, namun anya tersedia 3 coach. Kami lari ke depan, penuh.   pergi ke tengah, ke belakang juga penuh. Sebagian nyerah dan menunggu train berikutnya. Yang entah kapan. Karena dari Hudd ke Leeds, berdasar timetable ada yang lewat 47, lewat 14. Ini datang lewat 03. Jadi ini yang mana? Kalau menunggu yang satu lagi, tidak mungkin mengejar sambungan ke newcastle. Sedang tiket leeds -ncl adalah tiket murah, tidak bisa tidak, harus ambil train yang itu. Jika tidak terkejar, artinya harus beli tiket baru, 3 X lipat dari tiket yang sudah di tangan.

Seorang teman sudah di dalam train. Saya memberikan tas plastik makanan anak2 ke dia, mengambil Wafa dari pushchair, dan memanggul ransel. SAat suami sedang knock down puschair, saya meminta dengan isarat kepada orang berdiri yang di dalam untuk maju lagi.

"I need to get in. Move, please. Give space."

Dua ibu-ibu maju, diikuti oleh lelaki2 di belakangnya. Seorang lelaki dan perempuan di  tengah, yang sebelumnya menolak masuk tak bergeming.

Saya ketok-ketok jendela. Mereka menoleh. "Give space!" tanpa saya sadari, saya sudah melotot.

E e e, pintu train tertutup.   Saya berlari ke pintu sopir dan mengetok-ngetok jendelanya.

Dia mendekat dan membuka pintunya.

"My bag is with my friend inside! I need to catch my connection in Leeds!" Rasanya muka itu udah tegang sekali.
"You need to speak to the conductor, pet."

"Where?"

Dia menunjuk ke samping. Dari arah belakang train, lelaki berbaju putih mendekat.

"My bag is with my friend inside!" Rasanya mau menggampar bapak itu. Udah jelas kita berusaha naik, eh, malah pintu ditutup. Sopan sekali deh.

Tanpa banyak komentar dia membuka pintu dengan kunci. Pintu terbuka. Orang-orang memberi space.

"Naik saja Bi."

Saya naik, diikuti suami dan anak-anak.

Ugh! Rasanya kepala saya sudah berasap. Keki dan sebel. Beberapa bule di sekitar tertawa dan tersenyum. Saya tidak mood ngobrol. Wafa harus digendong. Muhammad di antara saya dan seorang lelaki. Suami dekat pintu. Antara pintu, dinding dan dan suami, kejepit Arik. Di sebelah saya, akhwat.
"Cuman 20 menit, biasanya Seu." Akhwat harus mengejar coach dari Leeds jam 3. Which means quite an ample time. Saat itu sudah 15 menit dalam train. Tangan saya sudah kram. Wafa diambil akhwat. Saya mengambil Muhammad yang tertidur sambil berdiri. Saya dudukkan dia di atas luggage di depan. Nggak pake minta ijin. Aduh, my manner. Tapi, bener deh, udah nggak ada tenaga untuk berbasa-basi.
Bayangkan, di sandwich begitu, memanggul tas di belakang, dengan pakaian untuk winter (jaket tebal...2 lapis baju), menggendong Wafa yang tertidur, sungguh....seperti dimasukkan ke dalam oven!
5 menit Muhammad duduk sambil tidur, saya harus mengambil Wafa kembali, karena diperkirakan, hampir sampai ke Leeds.
"Ini jalur lambat,"jelas suami yang celingukkan.
"Masa? Kan cuma ada satu jalur. Hudd-Leeds."
"Ada dua. Yang cepet dan lambat."
"Kalau yang lambat, itu berhenti tiap stasiun, kecil. Ini bahkan nggak berhenti di Dewsbury."
"Iya, ini langsung ke Leeds," tambah akhwat.
"Ini yang lambat," jelas suami saya pelan.  Very tipical of him.
Saya tidak percaya. Tapi, berlalu 5 menit, Leeds tetap tak nampak. Seketika saya lemas. "Betul ternyata, Seu, ini yang 40 menit deh."
Akhwat mulai mengitung2 jarak dari train station ke coach station. Hanya bersisa 10 menit sebelum bus dia depart.
"Semoga tidak apa, Mbak."
"Mi, Abang Arik lapar." Wajah Arik sudah sangat memelas.
"Gimana caranya mau makan, Rik,"Suami marah.
"Sebentar lagi Leeds, Rik. Sabar ya. It's not possible now to get you food. Sabar oke?"
"Tadi anak-anak makan tidak?"
"Arik makan sereal dua bowl."
Tangan saya kembali kram. Wafa kembali ke akhwat. Muhammad telah tertidur lagi sambil berdiri. Tangan suami dua-duanya memegang pushchair. Dan masih terasa sepanas oven.
Menjelang 13 menit sebelum jam berikutnya, barulah train sampai di Leeds. Lebih lama dari 40 menit. Akhwat langsung berlari keluar, mencari taksi. Saya membawa Wafa, tas mainan anak2 dan tas plastik keluar. Suami menyusul tak beberapa lama dengan anak-anak.  Beberapa lama, suami tidak bisa menggerakkan kaki, karena posisi berdiri yang awkward, membuat kaki beliau kram.
"Posisi berdiri tidak betul,"jelas beliau. Saya hanya bisa tersenyum.
Sampai di platform 12A, kami menunggu train koneksi ke newcastle. Saya mengeluarkan coklat untuk Arik dan Muhammad.
Hanya 4 menit sebelum train due datang, datang train virgin, tapi arahnya berlawanan. Saya membawa pushchair ke arah yang disable coach. Suami berteriak, bahwa train itu bukan ke newcastle. Betul saja, itu ke plymouth. Akhirnya suami cari info ke depan monitor.
Ugh, ternyata platform dipindah ke 11B. Artinya, harus naik lift, nyeberang, turun lift!!

Berlarianlah ke platform baru. Dengan tiga anak, satu lapar, satu ngantuk, dan satu di pushchair, tertidur.

Ada pegawai train station di dalam lif yang sama.

"How could they change the platform just 4 minutes before the boarding!" saya memuntahkan amarah yang sudah mendidih.

"I have no idea, pet. But they will wait for you. They will."

As if!!

Sedang ketika kita di depan pintu train saja, mereka nutup pintu kok!

Dengan berlari sambil menggeret anak, akhirnya berhasil juga masuk train. Tak sepenuh train sebelumnya, namun masih banyak yang berdiri di depan toilet. Alhamdulillah di train ini, kami punya reserved seat, jadi ada jaminan punya tempat duduk.

Ugh!

You will think that a modern country like Britain will never offered you a shamble transport service like this. But, it did!

Slowly, it downed to me....aye masih aja gagah ya?


Nyengir sendiri....

Minggu, 04 Desember 2005

Too Early Winter...Dzikrul Maut

North East England, which is Newcastle sekitar, termasuk Durham, Alnwick, dll memiliki cuaca yang ....kata orang bule,...the coldest. Sebenarnya nggak juga sih. Winter tahun lalu, saat daerah tengah drop sampai -10C, Newcastle masih bertahan dengan -4C. Untuk ukuran winter, ini mild :-D


Kata the coldest, menurut pendapat saya, karena saat summer, newcastle relatively sejuk. Ini karena terletak di tepi samudera hingga tiupan angin laut mendinginkan udara yg udah merangkak 28C itu. Ini sih, jarang juga kejadian. Paling banter mah 24C.


Nah, masalahnya, tahun ini predicted to be the harshest...coldest winter ever in a decade. Wiiii.


Betul juga, sodara-sodara. 8 November lalu, saat Subuh, tiba-tiba salju turun. Kita asli terlongo. Karena  salju biasanya turun akhir Desember. It was just too early! Walaupun begitu menyentuh bumi, salju melted. Tinggal sisa-sisa salju di atas daun yg bisa diliat pas nganter anak sekolah.


3 pekan kemudian, tiba-tiba saja terjadi havoc, chaos di berbagai kota, karena mendadak salju turun...jalanan belum digrid...ratusan cars were abandonded, roads were deserted...dan banyak nenek/kakek yang jatuh sakit...bahkan sampai meninggal karena cold-related illness.


Tentang pensioners...ini masalah klasik, yang selalu membuat saya ternganga. Bagaimana mungkin, negara semaju Inggris membiarkan ratusan kakek/nenek per pekan meninggal karena tidak ada heater? Karena uang pensiun mereka hanya 75 pound/week, mereka terpaksa tidak memakai gas....karena kadang beli gas sistem top-up  means, at one point, you just can't buy it nomore....Kejadian yang sering terjadi ialah, nenek/kakek keluar selimut...mendapati rumah kaku seperti es....mau menghidupkan heater, terjatuh karena kedinginan....dan meninggal karena hipotermi....Atau....tidak bisa menghidupkan heater...karena memang tidak ada  lagi kredit gas!!!


Akhir November, Blair terpaksa mengeluarkan kebijakan mendadak...jika udara turun drastis selama lebih dari sepekan, maka gaji pensiunan otomatis dinaikkan. Mirip subsidi BBM gak sih?


Eniwei, akhir November lalu saya ke Glasgow...Udara masih sekitar -4C.  saat mendudukan ekor di kursi kereta api GNER, tiba-tiba saja kedua hidung saya tersumbat. Habis! Tidak ada udara yang bisa keluar dan masuk. Terlalu dingin, kali. Saya pikir, 5 menit lagi, they would be cleared.


TIDAK.


Terhitung sejak jam 7 pagi....sampai jam 7 malam....kedua hidung saya 98 persen tersumbat!! Bayangkanlah mengisi pengajian dengan kedua hidung tersumbat! Kaliamat 'mengingat Allah dalam hening malam....mengakui dosa-dosa pada Pencipta'....adalah kalimat yang tidak bisa saya ucapkan!!


Bahkan menelan ludah saja jadi menyakitkan. Karena saat menelan ludah natural, ada angin yang keluar lewat hidung....dan ketika itu tidak bisa.... Allah....


Mengatur timing antara bicara...menarik nafas....dan menelan ludah!! Jika tidak pas....saya bisa tersedak....dan KEMATIAN!! Karena 3 menit jalur nafas tersumbat.....seseorang bisa meninggal. Belum lagi saat buka puasa....minum air...


Sungguh, air mata saya mengalir....Dekat kematian itu....begitu banyak nikmat Allah...


Fabiayyi 'ala i robbikuma tukadz dziban...


 


 

Selasa, 29 November 2005

Pelajaran Pedas dari Sambel

Allah memberikan pendidikan di mana saja


Pada pengajian terakhir di newcastle, saya mengambil tugas membuat sambel terasi. Pertama, emang sangat suka sambel, jadi sekalian buat banyak untuk disimpen di fridge. Kedua, memang semua bahan ada. Saya sangat suka sambel, namun masak sehari-hari bisa dibilang abstain pake cabe, karena suami sama sekali tidak bisa pedas. Maka bisa masak sambel itu asyik banget. Terbayang, nasi anget, sambel terasi...dan goreng teri....yum yum.


So, sambel jadi dalam jumlah banyak. Sebagian untuk pengajian. Sebagian, disimpan di rumah. 


Pas mau berangkat, kecelakaan terjadi. Entah bagaimana....Arik nyenggol sambel yang akan dibawa...jadinya sambel jatuh ke karpet dan boks tempat hat dan mitten. Padahal tu sambel udah ditaruh jauh-jauh dari mereka.


ADDUUH!!


Marah pertama karena semua kotor.


Marah kedua...dan yang lebih berpengaruh....yaaa, bakal nggak jadi punya sambel nii. Karena mesti tetap bawa sambel kan? Artinya, persediaan di rumah mesti direlakan untuk pengajian.


Sepanjang jalan mikir, apa yang diinginkan Kekasih dari pelajaran yang bikin gigit jari ini?


AH, JANGAN GREEDY doong....


Dalam mengukur-ngukur mana yang akan dibawa (dengan membayangkan berapa jumlah orang yang hadir dan sambel yang akan dibawa....) saya cenderung generous untuk meninggalkan sebagian di rumah, hi hi hi.


Jangan rakus. Kalo mau 'sedekah' sambel, jangan kebanyakan 'sayang'-nya.

Selasa, 22 November 2005

Pertama!! Bersama!




kali pertama foto keluarga. biasanya hanya berempat, karena salah satu harus jadi fotografer. kalaupun harus pakai timer, seringnya hasilnya tidak terduga, karena tripot sudah dikirim ke TA.

Senin, 03 Oktober 2005

Off Ngempi

Mohon maaf untuk semua teman-teman di MP.


Selama Ramadhan, mulai esok, saya off buka MP. Mau kosentrasi sama tamu mulia .


Juga off Yahoo Messenger, kecuali untuk Taujih Online. Jadi, media komunikasi kita via email saja ya.


Semoga Allah jadikan kita orang-orang yang memang....Amiin.


Wassalam,.


imun

Kamis, 29 September 2005

Membatu Hati

Ada masa di mana kepedihan itu sangat memerihkan...hingga tak mampu lagi menangis....kerongkongan sakit dan kepala pening. MAta nanar dan tubuhpun tak bertenaga. Dan itu melelahkan...karena pening itu terbawa ke mana-mana....sedang diri pun tak mampu berbuat apa-apa. Rasanya hopeless....sekaliii. Dan saya penat dengan keputus-asaan.


Lalu ada solusi...membatukan hati, ya saudara.


50 insurgents died in the attack in Basra....800 islamists feared to have died in the frenzy attack of Uzbek....Feared amounted as hundreds of Palestinian died when Israel attacked Gaza....


Hati saya tak bergeming. Paling angka itu masuk telinga kanan, keluar dari telinga kanan lagi...Biasa....Muslim kan  memang akan jadi santapan srigala liar, kata Rasul SAW....seperti inilah itu...bla ...bla...


The vilest Trade....Gory Pictures for Porn....


Saya terpana....Metro di hadapan tak terbalikkan halaman....Foto-foto mayat yang dirusak, dijarah kehormatan mereka....dan dijual kepada binatang untuk layanan pornografi. (Mayat harus diperlakukan dengan baik...menghormati diri mereka dengan menyeleggarakan jenasah secara sempurna)...


Sedang kepala itu tak ada lagi...hanya ada kolam darah dan otak...Dan wanita itu, jelas-jelas berabaya....dibuka auratnya, tanpa kaki...dan dengan tulisan yang menjijikkan di sampingnya.


Allah,...mereka Muslim!! Mereka bagian dari diriku.....tanganku...kakiku...auratku...


Sungguh perih ya Karim, sakit dada ini ya Wadudd...yang Maha Cinta....Ke mana Kau berikan kami....ke tangan musuh yang tak ada rasa kasih dan hanya ingin mencelakakan kami?


Duhai RAhman, Rahim....


Ya Ikhwanal Muslimin....fa aina antum?


Di mana kalian ya Muslim? Saat kehormatan negeri kita dijarah? Saat wanita kita dinoda? Saat mesjid dan Qur'an kita diinjak kaki durjana...saat bayi kita digorok lehernya? Di mana kalian?


Perih ini sebilu, ya Ghaffur...tak sesakit torehan pisau yang membelah rahim saudariku....tak sepedih tembusan peluru yang menumpahkan darah mujahidku...


Sakit ini ya  Rabb, semoga lekat dan melahirkan energi untuk berbuat....demi nyawa saudaraku ...demi kehormatan...demi masa lalu dan masa depan.


Aku rindu harumnya syahid...semerbak wangi ...memenuhi bumi...


Aku rindu ....


 


 


 


 

Selasa, 27 September 2005

wafa dan Dunia Maya

Wafa hampir selalu di tas pangkuan saya jika saya duduk depan komputer kami. Satu karena memang waktu di make komputer mepet, jadi kalo ada waktu luang, saya curi-curi. Dua, memang Wafa suka duduk di depan komputer sambil 'gili-gili' alias mengobrak-abrik meja.


Usai buka komputer sedikit, saya mengajak Wafa ke living room, karena hendak beberes.


Tiba-tiba dia bilang, "Mo ntenet."


Saya tidak ngeh. Masih asyik tidy up.


Setelah 'mo ntenet' yang kesekian kali saya tanya, "Mau apa, Beb?" (Beb= baby...dipendekkan)


"Mo ntenet." Wajah cemberut itu.


"Mau pen?" Dia suka nulis.


"Nooou, mo ntenet."


"MAu book?"


"Noooou. mo ntenet." Wajahnya hampir menangis.


Saya melihat-lihat isi meja. Kira-kira apa yang dia maksud. "Mana?"


Dia mulai mewek.


"Mau hidupkan tivi?" Saya tunjuk tivi yang mati.


"Mo ntenet." Kali ini dengan hentakkan kaki.


LAma saya berpikir. "Wafa mau internet?" tanya saya agak takjub.


"Ya."


oh la la...


Ha ha ha.


Begitu ummi begitu anak!

Rabu, 21 September 2005

Tetanggaku, Saudaraku

Daerah tempat kami tinggal terdiri dari flat dua lantai. Lantai bawah biasanya terdiri dari dua kamar tidur, living room, dapur dan toilet. Lantai atas memiliki tiga kamar tidur. Sejak pindah ke rumah sekarang, kami mempunyai tetangga yang sama. Sama-sama student (mereka dari Libya), sama-sama punya anak 3 ( anak dua tertua mereka lebih besar), dan sama-sama Muslim.


Sebelum benar-benar saling sapa, suami mengingatkan bahwa istri 'orang atas' tidak lancar berbahasa Inggris. Yaa, udah deh. Selama setahun pertama, kami paling saling senyum dan sedikit basa-basi. Walau, bisa dibilang, kami hapal rutinintas masing-masing. Setiap setengah jam, sang istri cuci piring , dua kali sehari vacuming . Sampai jam satu atau dua pagi, dia masih bangun. Kadang malah, jam tiga pagi terdengar bunyi cuci piring. Saya bisa menandai mana langkah kaki dia (lebih bak buk bak buk). Sering juga terdengar dia memarahi anak-anaknya.


Hubungan mulai terjalin ketika kami (saya dan sang istri) sering bertemu di halaman belakang  yang hanya terpisah dinding tinggi semeter saat menjemur kain. Summer 2003. Kami mulai berbincang tiga patah kalimat. Ternyata, memang sering nyasar juga pemahaman kalimat kami. Maksud saya A, dia pikir B. begitu sebaliknya. Belum lagi yang 'he' jadi 'she' atau segala kesalahan bahasa. Tapi, karena satu agama, kami merasa enjoy saja


Entah bagaimana....kami jadi akrab...sepertinya sejak saya diundang hadir dalam syukuran bayinya deh....(saya datang....telah hadir 8 ibu-ibu Arab, cantik dengan make up mereka, pakai baju pesta...harum dan tanpa jilbab.....saya datang terburu-buru, sepulang kerja cleaner, agak bau, pakai jubah rumah yang terkena noda...dan jilbab kain yang warnanya sudah pupus.....Sungguh saya merasa seperti upik abu...salah ruangan lah bo....Waktu saya terus terang merasa telah merusak suasana pesta mereka, dan minta ijin pulang lebih dulu...sang istri protes...jadilah setengah jam saya duduk di tengah wanita harum dan cantik itu...))


Setelah pesta itu, saya mulai hapal namanya, Amal. Amal mengundang saya minum kopi dengan kakak perempuannya, Su'aj. Su'aj datang sebulan untuk mengurusi Amal yang habis melahirkan. Dari situ keakraban terjalin. Ketika anak-anak mereka main bola diluar, saya mengeluarkan donat  dan jus. Satu ketika, Amal yang membuatkan suami-suami kopi Arab dan kue. JAngan ditanya anak-anak. Mereka inginnya main bersama terus. Anak mereka, Ahmad berusia 11 tahun, Ibrahim 8 tahun, cukup enjoy bersama Arik dan Muhmmad ( 5,5 th dan 4 th). Ayah, anak perempuan mereka ( 1th) suka main dengan Wafa.


Saya salut dengan Amal karena membayar puasa Ramadhannya saat summer (puasa mulai jam 2 - 10 malam!!...katanya dia ingin Allah cinta padanya disebabkan puasanya yang susah itu), sedang saya menunggu autum untuk bayar puasa( mulai ja 5 pagi - 6 sore....enteng) . Sedang Amal merasa saya punya pengetahuan agama yang luas, dan dia banyak belajar, hi hi hi . Momen yang paling seru saat cerita nabi-nabi ke anak-anak kami. Amal bilang Harun bukan Nabi. Saya melongo. Apa pelajaran agama di Indonesia salah? Amal akhirnya nanya suaminya, suaminya marah. Harun itu nabi. Setelah itu kami ketawa berdua, kek kek kek.


Kami jalan-jalan dengan semua anak2 (minus suami) ke taman. Menjaga satu-sama lain saat London bombing, supaya aman. Sepulang mengantar anak (sekarang Ibrahim satu sekolah dengan 2 bujang) kami sering minum teh bersama...sambil tukar cerita. Kami sering tukar-tukar resep. Kapucino itu, nasi Libya dan pizza saya dapatkan dari Amal. Saya mengajar Amal bikin donat dan cake. Amal juga tidak merasa sungkan untuk meninggalkan Ayah di rumah agak 15 menit, saat dia harus mengantar obat Ibrahim ke sekolah.


Amal anak kedua dari 13 saudara, dengan 7 diantaranya perempuan. Sedang saya anak perempuan satu-satunya dari 3 bersaudara. Sungguh saya menemukan kakak perempuan yang (kek kek kek) jauh lebih lugu dari saya.


Amal adalah wanita Arab yang baik hati, ramah dan jujur. Dia generous, dan sangat perhatian. Dia idealnya istri...rajin masak, rapi, bersih. Dia masak dua kali sehari, membersihkan rumah dengan bleach setiap kali ada yang selesai memakai toilet, dan anak-anaknya selalu bersih, tak pernah dekil. Saya, kebalikannya .  But I try my best to clean, cook dan care for the children. Sambil juga kerja part time dan dakwah. Jadi, yaaa, will not as perfect as Amal.....


Yang jelas ada saja pelajaran positif dari setiap pertemuan kami.


Semoga Allah selalu melindungi dan menjaganya. Amiin


Saya suka bersama dia. Semoga juga dia suka dan nyaman bersama saya.

Jumat, 16 September 2005

Ingin Kutangkap Bayangmu

Mak,


ingin kutangkap bayangmu...


yang mengabur...


hampir hilang ditiup  angin masa


Mak,


ingin kucium...harummu


yang melekat pada baju dan rumahmu


yang dibuang oleh bapakku...


Mak,


perih rindu..menggigit ruang sadarku...


ingin memelukmu....namun tiada tempat untuk itu...


hanya menunggu ...kumampu...


waktu bertemu denganmu...


di surga kekal abadi...


Mak, aku rindu....


 


dengan keperihan...saat mengetahui kenangan akan beliau diserahkan pada keasingan


 

Selasa, 06 September 2005

wafa's dictionaries

 Wafa punya kosa kata yang baru:


perut = penut


direbut = mbuk


balon = banon


susu cold - syusyu khol


outside = otsaid


muhammad rebut  = Mamad mbuk.....sambil memeragakan gerakan tangan merebut.


balon broken = banon..oop...(dua tangan bertemu di depan dada)


Mau main sama Muhammad = mo mai ma Mamad


Mau play outside = ma pla otsaid ( lalu diikuti...shus...shus....sepatu maksudnya)

Minggu, 24 Juli 2005

Si Hati Lembut Arik


Arik ( 5 tahun 6 bulan) anak yang suka membaca, main kereta dan menggambar. Dia bisa menghabiskan jam-jamnya dengan duduk di kursi kesayangannya, either membaca atau menggambar. Makanya, ketika Wafa belum asyik diajak main, Muhammad sering bete karena Arik lebih memilih duduk daripada lari-lari.


Dia sensitive dan lembut. Sesuai dengan karakter ini, dia juga 'slow'.  Menjelang pergi ke sekolah, selalu dipenuhi dengan belasan, "Arik, sudah habis cereal di mulutnya? Ayo suap lagi....." Atau, "Arik, liat jam, sudah jam berapa. Come on, hurry."


Sungguh, kadang bisa stress! Akhirnya, saya membiarkan dia dengan 'pace' dia. Hasilnya? Beberapa kali telat sekolah dan harus lapor office. Sengaja...biar dia belajar, kelambatan dia ada efeknya. Sekali, dia agak shaken, dan nampak mau jika diburu-buru. Dua kali telat, malah dia jadi enjoy!


'What's your name?'


'Arik.'


'What's classroom are you Arik?.'


'Miss Tucknottt.'


'What are you doing for dinner?'


'Pack lunch.'


Walah!


Kelembutan dia, kadang, membuat saya agak gerah. Daripada ngelawan, dia lebih baik mundur! Walau wajahnya memelas. Sementara society di sini penuh dengan bullying. Sungguh, kekuatiran saya ialah, dia akan menjadi sasaran empuk bullying. Ternyata, benar, namun, ada anak yang selalu siap membela Arik.


Leon, namanya. Leon akan menjadi penolong Arik. Beberapa kali saya melihat dengan mata sendiri, Leon mendorong anak yang mengganggu Arik. Pernah juga mendorong seseorang karena anak itu mengambil posisi berdiri Arik di line-up. "It's Arik's,"teriaknya.


Dengan sendirinya, (karena nama Leon selalu muncul...sampai Muhammad pun ngaku dia temannya Leon) saya dan ibu Leon jadi teman baik


Kelembutan Arik sering membawa air pada mata saya. Saat hamil Wafa, dua kali saya mengalami sakit luar biasa. Dua-duanya direspon Arik dengan mencium saya, tanpa kata.


Kemarin malam, saat siap-siap mau tidur, Arik komentar, "Abang mau ke Indonesia,Mi."


"Iya, Bang. Di Indonesia ada Pak Tuo, Mak Tuo. Kak Chica, Mak Dang, Dini, Dani..."


"Ada Mak." (Dia juga memanggil ibu saya dengan Mak).


Saya tersentak. "Mak nggak ada. Mak kan sudah gone ke Allah."


'Tapi Abang mau bertemu Mak."


"Makanya doakan Mak masuk surga, hingga Abang, Umi bisa bertemu Mak kalau kita juga masuk surga."


Hening.


Saat saya menyiapkan Wafa. Tiba-tiba.."Mi, I am very sad." Suaranya menahan tangis.


"Why?"


"Because ndak bisa ketemu Mak." lalu tangis tersembur.


Kerongkongan saya tersumbat.


 

Muhammad sang Heroik


Muhammad ( 4 tahun jurang 2 bulan) mempunyai jiwa heroik yang tinggi. Dia siap membela orang yang dicintainya, dengan harga apapun. Jika Arik kena marah, dia akan loyal pada abangnya dan bersedia menemani abangnya yang kena 'grounded'. Dia juga siap dengan logika pembelaan yang kadang lucu.


Satu pagi saya memecahkan gelas. Saat saya kerja (gantian dengan suami.) dia cerita pada abinya.


"Bi, Umi pecahkan gelas."


"Oh iya?"


"Iya. But it's okay Abi. Umi sudah big." (dengan nada suara bijaknya).


Saya ketawa habis pas suami lapor.


Mungkin karena beberapa kali mendengar retorika kita, "Bang, adik Wafa masih small, belum mengerti." Tapi apa koneksinya dengan 'sudah big'?


Pergi belanja dengan Muhammad akan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Dia akan menolong menjaga Wafa. Mengalihkan perhatian Wafa yang mulai bosan hingga Wafa tak jadi menangis. Dia juga (meniru kebiasaan saya) mengingatkan apakah barang yang saya beli mahal apa tidak.


"Ini buy one get one free, ya Mi?"


Ha ha ha.


Karena, memang, jika belanja di supermarket, mostly yang kita cari yang buy one get one free. Apakah itu sereal, kue, atau bread. Jika saya tidak jadi beli, biasanya dia akan komentar, "Mahal ya Mi?"


 Kalau ternyata bukan karena mahal, saya biasanya menjelaskan bahwa makanan itu tidak halal, karena bla bla. "Allah nggak suka kita makan yang haram, Muhammad."


Komentarnya? "Iya. Muhammad juga nggak suka." As if, his agreement is needed


Karena selalu mendengar, 'Anak-anak, listen, ini tentang Muslim,' dia sering lapor kalau dia melihat tivi tentang Muslim sama abinya. (Berita London bombing). Kadang keluar komentar, "Abang Amad kasihan ama Muslim."


May Allah bless his soul...


 

Rabu, 20 Juli 2005

London bomb dan keraguan muslim

Apa yang tersisa dari londan bombing? Selain rasa sakit yang memilukan, ada banyak tanya.


Blair menuntut Muslim untuk bertanggungjawab terhadap 'jihadist' atau 'suicide bomber'. Muslim harus looked deeply and question themselves, bla bla... Ada apa dengan 'Islam' hingga melahirkan 'teroris'.


Pemuda Muslim berontak. 'No way! Government should look at their foreign policy. Look at what happened in Iraq, Afghanistan, Bosnia. Look at the alleged torture of Muslim in Iraq or Guantanamo Bay. That's the potential breeding ground of frustration in Muslim youth. They think their goverment have a double standard'...which IT IS TRUE!!


Chapman House, thinktank independet mengeluarkan 'fatwa' bahwa invasi Inggris ke Iraq banyak berperan dalam breeding the terorist. Blair menolak dengan sangat tegas. Dia berkukuh, ajaran islam yang salah.


Sadly, Muslim Parliament, sejenis lembaga politik Muslim malah menodong sedikit mengancam para imam mesjid untuk menjaga 'mulut' mereka jika bicara...jangan sampai melahirkan 'monster' seperti london bombers. Hih!


Bagi kami, para Ibu? Yang ada kehati-hatian yang sangat jika keluar. Sebelum ini, saya sering mendapat abuse dari orang bule. Mulai dari jilbab ditarik, sampai diancam bunuh. Setelah ini, who knows?


But do you believe what you see? Hardly!


Setelah mendengar kedutaan Israel mendapat warning sebelum bomb, lalu Benyamin Netanyahu dilarang pergi ke daerah Liverpool Street...walaupun warning ini sempat dideny...but...tidak ada asap tanpa api, ceu nah.


Apalagi, the so call bombers kok malah ninggalin banyak forensic evidence?? Kayak nggak niat aja.Jangan-jangan mereka cuma korban yang tak sadar jika ransel mereka....yang mungkin titipin someone...berisi bomb.


Lucu juga ketika backpack sebesar itu dikatakan membawa bom seberat 5 kilo! Masa mesti bawa tas segede itu. Bikin susah gerak. Kenapa nggak tas yang lebih kecil. Trus kok malah pamit sama ortu, akan jalan ke London dengan teman.


Does not it ring a bell in your mind?


Surely it does in mine!!


 


 


 


 

Kamis, 07 Juli 2005

Buka Puasa Multi Etnis Newcastle

Buka Puasa Multi Etnis Newcastle*


(dimuat di Republika)


 


            Matahari meluncur cepat. Waktu seperti berlari.  Sebentar saja, kelam meliputi alam. Newcastle musim dingin memang berarti siang sangat singkat. Artinya, puasa mulai enam kurang seperempat, buka tiga lewat lima puluh. Hanya sembilan jam saja.


            “Jadi  ke mesjid, Mi?”  Suami menegurku. Aku mendongak ke jam dinding. Pukul tiga kurang.


            “Ya, Bi.”


            “Ayo. Anak-anak?”


Sejak tinggal di sini, aku terbiasa berbuka di mesjid. Setiap hari, ada yang menyediakan menu buka puasa, mulai dari minum sampai nasi. Bergiliran. Kemarin mahasiswa Arab. Sebelumnya mahasiswa Mesir. Komunitas Indonesia terjadual menyediakan buka sepekan lagi. Hari ini kali pertama aku ikut suami ke mesjid.


Aku bergegas mengeluarkan botol susu dari microwave. Aku selipkan botol itu di antara nappy si sulung dan si bungsu. Baju ganti mereka aku taruh di bagian lain tas.


Karena sudah musim dingin, aku memasangkan berlapis  baju pada mereka. Vest, fleece  dan jaket. Sebenarnya, suhu baru turun ke 2 atau 3 derajat celsius, tapi angin utara yang kencang terasa sedingin es.


            Selain baju berlapis itu, Muhammad yang baru berusia 9 pekan aku bungkus dengan sleeping bag dan selimut wol. Jika saja pram bayi yang dibawa, dia tidak perlu dibuntel serapat ini. Pram itu seperti tempat tidur tertutup yang diletakkan di atas pushchair atau kereta dorong bayi. Karena sulungku juga ikut, aku mengeluarkan tandem pushchair. Yang sulung duduk di depan, sedang bayi tidur di belakang.


            Begitu buka pintu, dingin menusuk tulang. Aku menyembunyikan tangan di dalam saku. Suami memanjangkan lengan jaketnya. Mendorong kereta bayi dalam cuaca seperti ini bisa membebalkan tangan, saking dinginnya. Jika sudah disiksa winter begini, aku selalu merindukan Indonesia yang hangat.


            Selain kami, ada suami istri di halte itu. Arab. Sang istri mengucapkan salam. Aku membalas senyumnya.


            “Subhanallah, kaya sekali mereka,”bisik suamiku.


            Aku tersenyum lebar sambil memaksa pandangan tetap lurus ke depan. Sepasang Arab itu dikelilingi anak berumur mulai dari sekitar 14 tahun sampai 2 tahun sebanyak…delapan orang!


            Anak perempuan terbesarnya melipat kereta bayi bayi mereka. Bus tidak mau membawa kereta bayi lebih dari dua. Jika si sopir sedang berbaik hati, mungkin dia mau menjejalkan tiga kereta bayi sekaligus. Pengalaman temanku usai tragedy 11 September lalu, bus berulangkali menolak membawa kereta bayinya dengan  alasan penuh. Padahal, hanya ada satu bayi di sana! Ada saja yang rasialis, memang.


            Bus muncul di tikungan setelah lebih seperempat jam menunggu.


            “Sudah terlambat.” Suamiku berulang kali melihat jam tangannya begitu turun bus. Saat ini dia salah satu pengurus mesjid. 


            “Abi duluan saja.” Aku menggantikan suami mendorong kereta bayi. Suamiku mempercepat langkah. Dia memang banyak terlibat mengurusi mesjid. Mulai dari mengunci mesjid, sampai menjadi imam shalat.


            Newcastle memiliki beberapa mesjid. Semua mesjid, kecuali mesjid tujuan kami, punya komunitas tertentu. Sayangnya, mesjid komunitas tertentu ini cenderung tertutup untuk muslim lain.


Mesjid di sini berbeda dengan mesjid di tanah air yang tegak anggun dengan menara dan bangunan indahnya. Mesjid hanyalah bangunan apa saja yang diubah fungsi menjadi tempat shalat. Satu mesjid bahkan sekedar flat lantai bawah. Mesjid kampus, begitu mesjid yang kami tuju biasa disebut, merupakan sekelompok ruangan di gedung King George VII Universitas Newcastle. Ruang shalat utama berukuran 10 X 8 meter. Ruang ini diperuntukkan untuk brother. Sister punya tempat sendiri sebesar 6 X 4 meter. Selain itu, mesjid memiliki perpustakaan, dapur dan gudang.


            “Langsung masuk, Mi.” Suamiku berseru dari belakang mobil. Mobil itu mengantarkan makanan ke mesjid. 


            Aku melepaskan sulung dari tali pengikat. Dia segera menaiki tangga ke dalam. Belasan anak usia sampai delapan tahun berlarian di lorong antara ruang brother dan sister.


            “Hati-hati Bang,”teriakku.


            Kemarin, kening Husna, balita pasangan mahasiswa asal Malaysia bengkak sebesar telor. Ibunya tidak mengetahui bagaimana anaknya bisa begitu. Suamiku wanti-wanti supaya aku menjaga sulung.


“Banyak anak Arab,”jelasnya. Sebenarnya, anak Arab baik. Hanya saja, cara bermain mereka lebih keras daripada anak Indonesia. Bagi mereka, mendorong atau berebut biasa saja. Ini juga yang membuat beberapa mahasiswa Indonesia urung menyekolahkan anak mereka ke sekolah Arab.


            “Karakter dasar bangsa kita berbeda. Anak kita kan terbiasa dilindungi. Makan kadang masih disuapi. Bergaul sama mereka kan bisa kaget atuh,”ungkap seorang ibu.


            Aku menggendong bayiku dan bergegas menyusuri lorong menuju ruang sister. Brother asal Arab tidak suka jika sister berada di lorong itu. Makanya, suamiku selalu menekankan aku harus buru-buru masuk ruang sister.


            Suamiku dan seorang brother menjinjing panci besar sekali. Diameter panci ada satu meteran. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk menahan beban. Dari panci mengepul asap. Harum baunya tercium sampai ke ruang sister. Gulai kambing.


            Panci itu bergabung dengan lima panci lainnya. Dapur kecil itu semakin sempit. Selain panci,  empat brother dan suamiku memenuhi dapur, menyiapkan ifthor. Ada yang menuang air ke gelas-gelas di atas puluhan baki. Ada yang membagi kurma ke piring. Suamiku menyerahkan baki terisi air pada anak-anak besar di depan dapur.


            Give it to sister, please,”pintanya.


            Aku membuka ruang sister dan menarik sulung ke dalam. Sedikit protes, dia mengikutiku.


            Ruangan hampir penuh.


            “Bu Andri,”sapa seseorang di sudut. Aku menoleh. Teman Indonesia. Sudut ini, tahun lalu, juga seakan kepunyaan ibu Indonesia. Setiap kali berbuka di mesjid, aku selalu duduk di situ bersama teman sebangsa.


            “Banyak ya?”


            Aku mengedarkan pandangan. Ruang berkarpet hijau itu disesaki ibu dan anak-anak. Wanita Arab membuat lingkaran besar. Mereka asyik berbicara dengan bahasa Arab. Suara lantang mereka terdengar sampai ke tempat kami. Tiga ibu berkulit hitam berkumpul di sudut lain. Beberapa ibu Malaysia mengelompok tak jauh dari sana. Anak-anak berlarian. Sulungku ikut bersama mereka.


Hiruk pikuk.


            “Haji Mustafa yang ngasih makan hari ini. Makanya orang rame,”ulas seorang ibu.


            “Enak pasti,”tambah ibu yang lain.


            “Alhamdulillah.”


            Haji Mustafa pemuka masyarakat muslim Newcastle. Dia memiliki beberapa toko pangan halal.


            “Kalau tidak makan di sini, kapan lagi makan enak. Nggak sanggup kita beli take away Haji Mustafa,”imbuh yang lain.


            Haji Mustafa memiliki toko take away masakan Pakistan. Aku pernah memesan chiken agra dari tokonya seharga delapan setengah pound atau seratus ribu rupiah lebih. Enak tapi mahal untuk ukuran kantong student. Chiken agra itu rasanya seperti singgang ayam Padang.


            Seseorang membuka pintu. Ibu Arab yang tadi. Dia juga ke sini. Kami kembali bertukar senyum.


            Beberapa anak keluar masuk membawakan kurma dan air minum. Gelas-gelas itu berpindah dari tangan ke tangan. Tak lama kemudian, dari pengeras suara terdengar azan.


            Seorang ibu membacakan doa berbuka keras-keras. Beberapa anak berebut makanan. Tangan-tangan kecil itu mengerumuti kurma. Pintu terbuka berkali-kali. Ibu-ibu masuk diikuti anak mereka. Ruang semakin penuh.  Paling tidak di sana duduk lebih dari lima puluh ibu dan anak.


            “Ributnya,”keluh seorang teman ketika kami selesai shalat.


            Kathrin, sister asli Inggris yang telah lama masuk Islam berdiri di depan pintu. Dia mengucapkan sesuatu, tapi aku tidak menangkap apa maknanya.


            “Brak brak brak!” Kathrin menggebrak pintu.


            Hening.


            Sister, please, make sure one tray is for at least four persons. We are so many today, and maybe there is no enough food. And, make sure after you eat, throw all the waste and give back the tray and spoons to the kitchen.” Kathrin mengedarkan pandangan ke sekeliling.


            Kata dia, nasi mungkin kurang. Orang datang lebih banyak dari yang biasa. Para ibu diminta duduk berempat satu baki.


            “Ayo bikin empat-empat,”temanku merubah posisi duduknya.


            Kathrin membagikan kertas waterproof, alas makan nanti.


            Seorang anak berwajah bule mengedarkan baskom berisi sendok.


            “Minta lagi. Kita masih kurang,”desak temanku yang datang dengan tiga anak remajanya.


            Seseorang mencowel anak bule itu.


            “Satu lagi,”temanku mengisaratkan dengan tangannya.


            Anak berambut emas itu tersenyum dan mengulurkan sendok.


            Tak lama kemudian, baki-baki berdatangan. Menu kali ini nasi pilau, kari kambing dan salad. Nasi pilau ini khas masakan Pakistan. Nasi ini dimasak dengan bawang Bombay dan semua bumbu India. Bawang diiris tipis dan ditumis sampai harum. Setelahnya, masuk kaldu ayam, bumbu, terakhir beras. Beras setengah masak dimatangkan di dalam oven.


Nasi pilau jenisnya banyak. Ada nasi pilau bawang putih, nasi pilau sayuran, nasi pilau ayam. Rasanya gurih dan spicy. 


            Satu baki untuk empat orang. Sepanjang makan, ada saja celotehan teman. Di Indonesia, cara makan begini hanya pernah aku jumpai di acara tahajud bersama Aa Gym, Bandung. 


            “Enak ya,”desis seorang teman.


            Nasi panas, salad segar dan kari kambing lembut memang memuaskan selera.


            “Ih, anak ini sudah tiga kali minta tambah lo.” Entah siapa mengomentari gadis kecil Arab.


            “Mereka, orang Arab, makannya lebih banyak.”


            “Yah, sesuai ukuran badan lah.”


            Aku perhatikan, ketika kami belum selesai menghabiskan isi baki, beberapa kelompok ibu Arab telah mengirim anak mereka ke dapur minta tambah.


            “Alhamdulillah.”


            Usai makan, saat duduk santai sembari menyusui bungsu, aku mendengar panggilan. Suara suamiku.


            Aku melongokkan kepala keluar ruangan.


            “Pulang sekarang yuk, Mi.”


            “Loh? Tidak cuci piring dulu?” Biasanya suamiku membantu mencuci peralatan kotor.


            “Belum makan nih.” Senyumnya main lebar.


            Keningku berkerut. “Kenapa?”


            “Tidak kebagian. Nasi habis.”


            Oh la la.


                                                                        Muth/Newcastle


           

Senin, 06 Juni 2005

bocoran sambungan Rahasia Dua Hati (Bukan Jalan Bertabur Mawar)

Aku membawa belanjaan ke belakang. Test kit ke kamar mandi, sabun dan odol ke dalam rak, pembalut ke dalam laci. Kantongnya kulipat kecil dan kumasukkan ke plastik holder.


Sambil jalan ke ruang tengah, aku membuka jilbab dan kaos kaki. Menggantung jilbab di balik pintu dan menggumpalkan kaos kaki dan memasukkan ke sepatu.


Dulu, aku tidak serapi ini. Masuk rumah, jilbab kulempar ke sofa. Kaos kaki kutendang ke sudut. Kalau winter, jaket, dan sarung tangan menambah ceceran kain-kain. Sejak hidup bersama Harry, aku belajar rapi.


Dia tidak pernah protes sih. Hanya saja, saat aku duduk menikmati segelas air hangat sehabis jalan pagi, dia tanpa bicara atau melihat padaku mengambili pakaian itu satu per satu dan meletakkan ke tempat yang sebenarnya.


“Jangan, Har. Biar aku rapikan nanti.” Lagian, aku mau istirahat dulu. Masih capek.


“Tidak apa, Baby. Minum saja dulu.” Senyum itu tidak ada berkesan menuduh atau berat. Masih senyum mesra.


Bagaimana aku akan tega?


Aku meloncat dari duduk dan merebut barang-barang itu dari tangannya.


“Bikin malu aja.” Aku misuh-misuh.


“Aku mau beramal, kok dibilang bikin malu?” Harry senyum-senyum penuh arti.


“Yee, beramal di situ, malunya di sini.” Pantas, beberapa kali, aku meninggalkan barang-barang seperti biasa, esoknya sudah tidak di sana.

Kamis, 02 Juni 2005

Othman( Pemuda Hebron): Kampus dan Penjara

Othman: Kampus dan Penjara*


(tulisan untuk majalah Annida)


 


Tuturnya lembut. Gurat wajahnya menampakkan usia lebih tua dari umur yang sesungguhnya. Keras kehidupan di bawah pendudukan Israel membayang pada sorot matanya. Kalimat yang menderas kemudian menunjukkan keluasan pengetahuannya.


Othman, mahasiswa program doktor Institut Al Maktoum, Universitas Abertay, Dundee, Scotland asal Dahriya, Hebron memaparkan lebih lima kali penahanannya oleh Israel pada Annida.


 


            “Pemuda Palestina akan malu jika tidak pernah ditangkap tentara Israel,”tuturnya sambil tersenyum ketika Nida menanyakan perasaannya saat ditangkap tentara Israel. “Artinya dia tidak melakukan apa-apa.”  Othman, setelah lama Nida mengorek-ngorek, mau menceritakan penangkapan dirinya sampai 5 kali.


 


Siang itu, dia sedang berjalan pulang dari kampusnya, Bir Zeit University Jerusalem. Patroli Israel menyetop setiap orang yang lewat. Tangan mereka menggenggam daftar nama. Ketika Othman menunjukkan identitas diri, dia ditahan.


 


Satu sore, Othman dan keluarga menikmati kedatangan Maghrib. Tentara Israel datang dan menggelandang Othman pergi. Kembali dia meringkuk di dalam tahanan. Kejadian hampir serupa terulang beberapa kali.


 


Kesalahannya?


 


“Orang Palestina tidak harus punya kesalahan untuk ditangkap. Jika Israel mau menangkap, mereka tangkap. Mereka pun tidak perlu punya bukti apa-apa. Mereka bisa memasukkan seseorang ke penjara tanpa pengadilan selama enam bulan. Jika mereka masih mau, jangka enam bulan bisa ditambah terus sampai lima tahun.”


 


Wajahnya mengeras. “Saya punya beberapa teman. Kami tinggal satu desa. Saya kenal mereka sejak kecil. Pada waktu mereka berusia 18 atau16 tahun, mereka ditangkap Israel. Mereka ditahan sampai lima tahun. Setelah lima tahun, mereka dibebaskan. Ketika salah satu di antara mereka sampai di pos pengecekan, dia ditangkap lagi. Sedang yang satu lagi, sempat tinggal sehari dengan keluarganya. Keesokannya, dia dijemput tentara Israel lagi.  Keduanya sampai saat ini masih di dalam penjara. Sudah 13 tahun.”


 


Othman pun begitu. Israel tidak memiliki bukti apa-apa tentang ‘kesalahannya’. Tapi, dia lebih beruntung. Penahanannya hanya berkisar satu pekan, atau tiga hari, bahkan pernah hanya 10 jam.


 


Ketika ditanya bagaimana proses interogasi di penjara Israel, Othman tersenyum. “Seperti yang lain. Dipukul, disiksa.” Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Israel mempraktekkan beragam siksaan untuk mengorek informasi dari tahanan. Siksaan paling ringan, seperti yang baru saja dialami ribuan pemuda Jenin, mereka dipaksa melucuti pakaian mereka, dan didudukkan di tengah lapangan selama tiga hari. Tiga hari; pagi, siang dan malam, ribuan pemuda itu dibiarkan tanpa fasilitas apa-apa, setengah telanjang. Siksaan yang lain seperti sudutan rokok ke badan hingga kulit melepuh, setruman listrik, hingga pelaparan dan pengisolasian.


 


Para lelaki yang disiksa seperti ini, kadang kala, mengalami trauma dan pada beberapa kasus, balas menyiksa istri dan anak mereka di rumah.


 


“Pukulan mereka sakit ya?”


 


Othman tertawa tanpa suara. Dia tidak menjawab pertanyaan Nida. Ini tawa yang sama ketika Nida menanyakan kenapa dia belum menikah juga.


 


Ruang komputer hening. Mahasiswa Malaysia yang dari tadi menemani Nida beranjak keluar. Seorang mahasiswa Scottish melintas. Othman menekuk-nekuk jari tangannya.


 


“Bagaimana penjara di sana? Parah ya?”


 


Othman menggeser duduknya. “Tidak. Alhamdulillah. Penjara menjadi wadah pendidikan.” Wajahnya serius. “Proses belajar tidak berhenti. Penjara menjadi kampus alternatif.”


 


Dua teman Othman yang sempat menghirup udara bebas (walau hanya hitungan jam) menampakkan bekas nyata tempaan ‘kampus penjara’. “Mereka sangat berbeda. Mereka masuk tidak tahu apa-apa. Sekarang...?” Othman membuka dua tangannya.


 


Saat Nida mendesak siapa mereka sekarang, Othman hanya tersenyum. Nida menyebutkan Hamas, tapi Othman cuma tersenyum. Buru-buru, seakan ingat sesuatu, Othman meminta Nida menyembunyikan nama dua temannya.


 


Di dalam penjara, cerita Othman, terbentuk sistem. Di sana ada pembagian kerja, ada kuliah, diskusi, ceramah dan shalat bersama. Penghuni penjara meciptakan masyarakat kecil. Ada bagian dapur, tahanan yang bertanggung jawab untuk makanan. Ada bagian kebersihan yang menjaga kebersihan sampai ke ruang toilet. Ada bagian pendidikan, yang merancang program pembinaan tahanan.


 


Setiap pagi, urai Othman, tahanan mendengarkan ceramah agama. Selain itu, secara berkala tersedia ajang diskusi. “Di penjara kita tinggal bersama-sama. Jadi, pendidikan itu intens,” paparnya. Tokoh Hamas menjadi pendidik penting di dalam penjara.


 


Othman datang ke Inggris pada 1999. Dia mendapatkan beasiswa dari ISRA untuk melanjutkan sekolah di Universitas Abertay, Scotland. Othman meneliti periode Islam pertama di Jerusalem, atau saat itu masih bernama Aelia Capitolina. Hasil penelitian Othman yang penting ialah pemastian rute perjalanan Kalifah Umar dari Medina ke Jerusalem.


 


Orientalis berpendapat dari Medina, Umar ke Jabiya, lalu ke Jerusalem. Jabiya merupakan kota di daerah utara Jerusalem. Jalan berputar ini diambil Umar, menurut Orientalis, karena Umar ingin mengatur pembagian rampasan perang. Ini tentu saja untuk menunjukkan motivasi perang Muslim bukan agama, namun  materi.


 


Othman mendapatkan sepercik informasi dari ahli sejarah terdahulu bahwa dalam surat Umar pada Abu Ubaida, pemimpin tentara Muslim, Umar memerintahkan tentara Muslim untuk meninggalkan semua rampasan perang sampai Jerusalem bisa ditundukkan. Penemuan ini menolak kesimpulan umum orientalis.


 


Mengusik keaktifannya dalam intifadhah, Othman ikut melempar batu sejak demonstrasi pertama, Desember 1987. Saat itu dia baru saja menapaki kehidupan sebagai mahasiswa tahun pertama Universitas Bir Zeit.


 


“Tidak ada yang mengomando masyarakat. Demonstrasi pertama itu spontan saja. Nama Hamas muncul 5 hari setelah insiden pertama. Pamplet pertama Hamas saat itu ditulis langsung oleh Shaikh Ahmad Yasin. Isi pamplet mengajak Muslim Palestina untuk terus berjuang. PLO mulai memasang pamplet dua pekan setelahnya. Tahun 1989, Israel menangkap Shaikh Ahmad Yasin.” Jari Othman menggores meja, menuliskan tahun dan tanggal.


 


Intifadhah terjadi tiap hari. Ini karena sejak ledakan intifadhah pertama, Israel mengirimkan pasukan mereka ke Jalur Gaza dan Tepi Barat. Sepanjang jalan, apalagi jalan utama, patroli Israel memenuhi jalan. Mereka melakukan razia atau sekedar meneror penduduk.


 


Bersama teman-temannya, Othman menyiapkan batu di dalam tas. Bertiga, berempat atau lebih, mereka bergerombol pulang dari kampus. Jika di jalan mereka mendapati tentara Israel, mereka menghujani tentara itu dengan batu.


 


Tentu saja lemparan batu itu dibalas tembakan senjata. Paling ringan, tentara Israel menembakkan peluru karet. “Kami harus berhitung jarak dengan Israel. Jika terlalu dekat, mereka memukul dengan popor senjatanya. Jika terlalu jauh, lemparan batu tidak kena sasaran. Jarak itu juga harus diperhitungkan dengan kemampuan lari dari kejaran Israel.” Bibir itu agak bergetar.


 


Semua lapisan penduduk Palestina ambil bagian dalam intifadhah. “Anak kecil, ibu tua, semua ikut. Intifadhah mendidik bangsa Palestina. Bangsa Palestina makin bersemangat membebaskan tanah dari cengkeraman Israel.” Kali ini wajah itu tersenyum lebar. Ketika intifadhah meletus, tidak ada yang memperkirakan itu berlangsung lebih dari sepekan. Sampai sekarang, ternyata perjuangan itu tidak padam juga.


 


Proses belajar Othman terganggu karena kampus ditutup Israel tidak lama sejak Intifadhah dimulai. “Mereka tahu, kampus awal bangkitnya intifadhah.” Othman memaparkan aktivitas mahasiswa. Di kampus banyak diadakan kajian Islam. Gairah perjuangan menyebar di kalangan terdidik dan melahirkan konsep perjuangan di berbagai bidang.


 


Baru pada 1993 kampus dibuka kembali.


 


Dan bayi Kurang Dua Tahun pun Membentak


 


            Denyut intifadhah begitu lekat dalam aliran darah bangsa Palestina, bahkan  sampai ke menguasai hati seorang anak usia 2 tahun. Saudara lelaki Othman, Muhammad memiliki 6 anak berusia paling besar 7 tahun. Dini hari satu malam, sepuluh hari sebelum Othman berangkat ke Inggris, Israel memaksa masuk ke rumah Muhammad.


 


            Muhammad ditangkap lagi. Kesalahan nyata Muhammad, dia giat mengumpulkan zakat dan menyalurkannya pada yang berhak. Dulu, Muhammad juga dijebloskan ke dalam penjara, tanpa pengadilan. Selama enam bulan Muhammad meringkuk di dalam tahanan.


 


Rentang waktu tersebut, istri Muhammad berjuang menghidupi keluarga besar namun berumur bawah lima tahunnya. Alhamdulillah, keluarga Othman yang lain masih memiliki sebidang tanah kecil yang menghasilkan buah dan bahan makanan.


 


            Ketika tentara Israel memerintahkan Muhammad mengikuti mereka, bayi terkecilnya, Umar, membentak tentara tersebut.


 


            “Insharif!” pekik Umar. Kata yang dipakai Umar sangat keras, jika diterjemahkan, ‘Pergi kau. Saya tidak mau melihat wajah busukmu’.


 


            Makian seperti itu dan datangnya dari anak sekecil itu membuat tentara Israel shock.


 


            “Keadaan sekarang memburuk (Pembunuhan dan penghancuran kamp pengungsi di Jenin, Ramallah dsb; red). Mereka (Israel) masuk dan hendak membunuh semua orang. Mereka sudah hilang akal. Mereka tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mereka ketakutan hingga mereka membabi buta seperti itu,”jelasnya.


 


Ratusan rumah rata dengan tanah. Ratusan warga Palestina menemui ajal dalam waktu 2 pekan saja. Salah satunya Huda, bayi usia 2 tahun. Di kamp pengungsian, air susah, makanan menipis dan listrik lebih sering mati. Baru saja pengepungan gereja Betlehem usai, namun sebagian penduduk Palestina dipaksa meninggalkan tanah mereka dan menetap di Cyprus. Sebagian lagi dikirim ke penjara di Tepi Barat.


 


Ini salah satu akal licik Israel. Seperti kejadian di Ramallah kemarin, ada pihak yang membocorkan di penjara mana pejuang Hamas ditahan. Israel datang dan memborbardir mereka. Kemungkinan besar, tahanan yang dikirim ke Tepi Barat akan mengalami nasib yang sama. Hanya menunggu waktu saja....


 


            Ketika ditanya bagaimana Othman melihat masa depan, dia menggeleng. “Bangsa Palestina tidak akan lupa. Bagaimana mereka lupa akan kekejaman Israel jika setiap mereka merasakan sakitnya? Saya punya paman. Paman saya telah hilang 36 tahun lamanya. Di mana dia? Kami yakin dia telah dibunuh Israel.” Othman sejenak tercenung.


 


“Tidak ada pilihan selain mengusir Israel dari tanah Palestina dengan senjata. Sejarah membuktikan, perdamaian dengan Yahudi tidak mungkin ada. Lihat apa yang dihasilkan Yasser Arafat? Tidak ada. Dan kami akan terus berjuang sampai akhir.” Sorot matanya kukuh seperti karang. Sesaat Nida lupa kalau Othman cacat sedari kecil. Kakinya pincang dan dia harus berjalan dengan tongkat.