Minggu, 30 April 2006

Catatan Perjalanan ke Kampung Halaman

Pernah merasakan tiba-tiba kaki berubah jadi jelly? Tiba-tiba ingin balik kanan saja? Tak usah maju ke counter check in? Semua saya rasakan saat akan terbang 16 April lalu.


Andai, saya bisa cancel saja flight ini...Andai tak harus pergi. Setelah check in, suami dan anak pun diusir, karena semakin lama bersama jelang terbang, semakin perih hati saya.


Dengan hati tak menentu, saya duduk di pesawat kecil Airfrance yang akan membawa saya dari Newcastle ke Paris. Dua jam sebelumnya nunggu di departure longe, sambil baca Qur'an. Dalam pesawat, banyak dzikir. Kata suami, saya dekat dengan Allah, maka banyak-banyak berdoa.


Perbedaan perasaan. Tahun 2000 ketika mendarat, yang ada rasa asing. Lapangan rumput yang asing. Rumah aneh dan tak bersahabat. Kali ini, saat menjauh darinya, sungguh all the nook and crook are close at heart. Seakan meninggalkan sahabat dekat.


But, Newcastle, I'll be back, insya Allah.


Karena terakhir melihat plane safety plan tahun 200 itu, maka saya mencermati detil apa yang harus dilakukan jika terjadi sesuatu. On the contrary, nenek di bangku ujung satu lagi care none of it. Dia terus asyik membaca koran yang dibawa. Tak peduli sekitar. Hm.


Turun di Charles de Gaule. Wow! Ghueede amat!


Dari pesawat naik bus, menuju arrival lounge. Dari situ, diperiksa pasport and everything. Lalu keluar lagi, naik bus menuju Terminal 2C (padahal nyampenya juga udah terminal 2 loo). Di sana, check in lagi. Lalu masuk jejetan panjang gate. Waktu baru menunjukkan 9 malam waktu setempat. Sedang pesawat ke Singapur jam 11 malam.


Apa akal? Mau sholat, tak ketemu ruangan quiet room. Belum lagi tas yang dibawa, jahitannya mulai mengendur. saya menjahit ulang tas peninggalan teman. Sekarang, jahitannya sudah lepas satu-satu. Hh.


Akhirnya menekuni buku bawaan. Emma. Jane Austeen. Diselingi ke toilet dan jalan cari money changer.


kerongkongan haus. Mau beli minum. Botol air putih 3,5 euro. Dari rumah cuma membawa 2 euro, logam uang yang diberi teman, satu hari. Tak ada makanan atau minuman yang bisa dibeli dengan 2 euro. Jus kotak dan apel tak cukup mengganjal perut.


Money changer tutup.


Akhirnya, menabahkan diri, dan menulikan rasa kering di kerongkongan.


Jam sepuluh lewat, boarding mulai.


Wuih, dapet duduk di jendela lagi. Alhamdulillah. Di sebelah dua gadis muda Perancis.


"Do you speak French?"tanyanya.


"No. Do you speak Englis?"


"No."


Akhirnya saling melempar senyum, kami asyik urusan masing-masing. Saya sholat maghrib dan isya. Dua teman mengutak-atik tivi.


Makan malam lumayan enak. Ikan dan nasi a la cina. Filem yang diputar ada beberapa Lavender Women, Harry POtter dsb. Dua anak sebelah agaknya juga baru naik pesawat. Mereka tak henti cekikikan ketika menemui hal-hal baru. Saling jaga dan inform each other lah.


Sedari masuk, hingga beberapa jam kemudian, lelaki di depan mulai bertingkah ajaib. Dia bilang dia dari Scotland. Agaknya dia baru saja kehilangan pacar. Dia sudah setengah mabuk. Makin malam, dia makin ajaib. Satu ketika, saat pulang dari toilet, dia menjawil lengan saya, "Come in. I'll take care of you."


Hiyaaa! Jijj...deh.


Buru-buru masuk kursi sendiri.


Saya berusaha tidur. Sedang dua gadis sebelah selalu diganggu lelaki itu. Beberapa kali pramugari mengingatkan. begitu lagi. Bahkan dia sudah mengeluarkan sebotol besar minuman warna merah. Ugh.


Puncaknya, dia menjulurkan badan ke belakang. Dengan bahasa Inggris patah-patah dua gadis ini mengusirnya. Entah pura-pura, entah beneran, lelaki tak mempedulikan permintaan dia, seakan tak mengerti.


"Please, leave us alone." Saya angkat bicara.
Dia menoleh cepat.


Yaa, jadi sasaran berikutnya. Dia mulai menceracau.


"Please, just leave us alone. We need to sleep."


"Well, you know what hurt me most?"


"Just turn around, please. Leave us be. This is our area."  


Dua gadis Perancis mengagguk-angguk.


Dua menit kami aman. saya memejamkan mata. Namun terpaksa membuka mata lagi, ketika anak gadis di sebelah terdengar gelisah.


Lelaki itu lagi.


"Do you want me to go to the captain?" Saya mulai panas.


Dia menoleh. "What?"


"I can report you to the captain, if you keep annoying us."


Pramugari datang lagi. dia dibawa pergi. Anak gadis yang duduk paling luar menangis. Saya mencari pramugari.


"She cried because of that man."


Bertiga mereka bicara dalam bahasa Perancis. saya tidak emnegrti. Namun akhirnya dua gadis itu dipindahkan duduknya.


Saya sendiri. Berusaha tidur. Lelaki itu datang lagi, bersama pramugara.


Ugh.


Tiba-tiba. Seuatu menyruh saya membuka mata.


Allah!


Dia berjarak beberapa senti saja. Dia berdiri, di dekat kursi yang tengah.


"Get out!! get out of here!!"


Bapak yang duduk persis di depan saya dalam sekejab bangun, berdiri dan menarik lelaki itu keluar.


"I am concern about you, you know."


Saya sudah menggigil, menahan segala rasa.


Seorang pemuda Cina di jalur tengah ikut berdiri. Dua Pramugari mendekat dan menyeret lelaki itu ke  belakang.


"Are you alright?"tanya pemuda Cina.


Saya mengangguk, masih dengan hati berdebar.


bersambung


 


 

Beruntungnya Hidup di Luar Negeri (evisi perbaikan...MPs chicken soup..

, dikomporin....ya sud...coba saja


Beruntungnya Hidup di Luar Negeri


Ah, alhamdulillah.


Allah mengaruniai nikmat tinggal di luar negeri ketika anak-anak masih balita. Datang dengan anak satu, berusia 4 bulan. Sekarang anak sudah tiga…


Sungguh beruntung hidup di luar negeri:


1.       Bisa hidup seadanya...tanpa harus tergoda untuk memiliki mobil atau TV flat screen.


Tidak perlu punya mobil pribadi, toh bus juga nyaman.  Bus ada ke mana saja. Walau kadang harus berjalan dari setopan bus terakhir ke rumah, tidak masalah. Kecil lah berjalan lima ratus meter itu. Hitung-hitung olah raga.


Bus dilengkapi heater/penghangat kala musim dingin, hingga badan yang menggigil menunggu bus, kembali hangat.  Sesekali bus tidak datang pada waktunya, atau melewatkan dua kali jadual berhentinya. So, menunggulah kita di setopan bus sejam lamanya. Ini biasa terjadi saat musim dingin. Paling kaki hilang rasa, tangan dan muka perih kedinginan. Apalagi jika ditambah tiupan badai North wind yang sebeku es. Dijamin sekujur tubuh menggeletar.  Namun, belum separah kena hipotermi. It’s okay.


Bus tertentu menerima kereta dorong bayi, hingga berjalan dengan tiga anak (asal memakai bus ini) mudah dan gembira. Anak-anak suka naik bus dan menempelkan muka ke kaca. Mata bening yang haus itu tak berkedip  melahap semua pemandagan di luar sana.  Saya  (jika belum selesai) melanjutkan dzikir harian, atau membaca koran gratisan.


Tak perlu beli TV. Toh TV buangan orang masih bisa ngasih gambar. Dulu, keluarga kecil kami bertekad tidak akan memiliki  tivi. No tv, no worry. Allah menumbuhkan rasa iba dalam hati seorang saudara. Maka diangkutnya lah sebuah tivi besar  dan kuno ke rumah.


“Supaya Umi Arik bisa mengikuti berita,”tambahnya.


Awalnya tivi tak pernah nyala. Namun, saudara yang demikian pemurah sering bertanya, bagaimana tv licensenya? Sudah bayarkah? Dan seterusnya. Maka, kami dengan amat takut menekan tombol on, dan cemas-cemas menunggu tampilan layarnya.


Alhamdulillah, ada petunjuk jam-jam aman dan tidaknya. Ada jam anak-anak, ada jam mak-mak (biasanya talk show atau cooking show), ada jam beritanya. Barulah malam, jam para hedonisnya.  Sepanjang membuka tivi pada jam-jam tertentu, insya Allah mata terjaga.


Amat sering kami menemui tivi buangan orang di alley. Sampai satu ketika tivi kuno itu menolak mengeluarkan gambar. Kami  lalu membuka pintu belakang dan melongok kiri-kanan. Tak sampai sepekan, tivi kecil teronggok di luar. Maka, bertukarlah posisi tivi itu. Yang besar keluar, dekat tong sampah, yang kecil bertengger di atas meja. Sederhana saja. Tak perlu ke mall, atau buka kredit barang elektronik.


Kami beruntung, karena di Inggris belanja di pasar loak biasa. Belanja ke charity shop tak masalah. Tidak ada 'image' rendah. Lain hal di Indonesia. Di mana, (Mak membelikan saya sepatu di pasar burung Padang) pasar loak adalah kelas lebih rendah :-(


Sebagian besar benda dalam rumah dibeli di pasar loak local. Namanya car boot sale. Mungkin, hanya satu dari 30 items yang dibeli baru. Baju kami hasil berburu di pasar loak. Once a while anak-anak dibelikan baju baru. Biasanya seragam sekolah. Selebihnya barang second hand. Anak-anak pun excited menunggu car boot sale buka. Mereka tak sabar mendapatkan buku dan mainan ‘baru’. Dan mereka tahu, yang penting bukan beli di mana, tapi fungsinya.


 


2. Bisa ngatur jam kerja semaunya. Sesuai kebutuhan anak-anak. Sesuai jadual nyusu bayi. Enaknya. Tinggal milih. Mau kerja jam 7? Jam 10? Jam 12? Jam 15? Semua ada. Mulai dari cleaner/petugas kebersihan di berbagai tempat, dinner lady/petugas makan sekolah atau loly pop woman, alias yang ngantar anak nyeberang.


Jamnya juga bisa milih. Bisa 2 jam sehari, bisa 3 jam sehari, bisa (bahkan) cuma 1/2 jam sehari.


Suka sekali, kerja 2,5 jam saja sehari, pergi anak-anak sudah kenyang dan senang main. Pulang ketika mereka memang minta Umi.


Alhamdulillah.


Karena tak ada lagi beasiswa, saya dan suami sama-sama bekerja sebagai cleaner. Suami ambil jam pagi. Sepulang kerja, langsung ke kampusnya. Saya bekerja sore. Saya kerja, suami di rumah. Setahun ini kami memutuskan suami sebaiknya tidak usah bekerja supaya makin kosentrasi menulis tesis.  Untuk mencukupi kekurangan bulanan, suami ikut Royal Mail, Christmas manual*. Hanya Desember, tiga pekan saja. Mulai kerja pukul 10 malam sampai 6 pagi. Menyortir surat, menstempel perangkonya. Berdiri 8 jam. Tidak sesusah saudara-saudara kuli pelabuhan yang mengangkut goni berpuluh kilo beratnya.


Pernah juga kami menjadi loper koran pekanan. Agen menurunkan tumpukan koran dan leaflet di rumah. Kami lalu memasukkan leaflet ke dalam koran.  Satu satu. Esoknya mengantar koran ke rumah-rumah di beberapa jalan. Pernah, ketika suami sibuk di kampus, saya mengantar koran bersama dua anak. Yang sulung sekolah. Yang bayi di dalam kereta dorongnya. Koran ditaruh di bawah kereta. Bersama anak tengah yang memegang kereta, menyusuri jalan dekat rumah, memasukkan koran demi koran.


Kali pertama jari-jari perih, lecet kena kertas dan tepi pintu. Sesusahnya, jari sudah kebal. Yang menakutkan paling jika harus memasukkan koran ke rumah-rumah tertentu yang memelihara anjing. Sungguh, jantung saya terlompat ketika membuka lobang surat dan ‘Guk guk’! Pintu berderak kena terpaan sepasang kaki dan satu moncong menarik koran. Beberapa lama kaki saya terhujam ke tanah, tak mampu bergerak. Sejak itu, saya selalu waspada.


Kerja loper koran ini, alhamdulillah, mendidik anak kami prihatin dan tahu diri. Mereka juga asyik terlibat dalam memasukkan leaflet ke dalam koran. Bahkan baru saja bangun, anak tengah sudah minta ijin kerja koran. Karena mereka demikian menolong, satu pekan gaji loperan dihadiahkan pada mereka untuk membeli  leap frog, mainan penolong membaca.


Alhamdulillah, karena kemahalan biaya, kami tidak mampu punya 'khadimat' alias pekerja domestik di rumah. Semua dikerjakan sendiri. Mulai dari belanja bahan masakan mentah, sampai memasaknya, dan menyuapkan kepada anak.  Dengan demikian, tidak ada masa anak bersama orang lain. Hingga, kami yakin, apa-apa yang mereka dengar, yang mereka serap semua sudah difilter :-)


Ada saja pilihan untuk memasukkan mereka ke nursery** pemerintah. Namun, sebisanya, kami menjaga anak di rumah. Tidak apa tidak punya uang lebih, namun anak selalu melihat dua wajah yang mencintai mereka dengan sepenuh hati.


Membiarkan mereka bersama orang lain (apalagi yang digaji...di mana kecintaan mereka belum tentu seikhlas kita) bagi saya agak mencemaskan. Bagaimana jika mereka tidak nyaman? Anak memiliki perasaan sangat halus. Mereka sangat tahu mana-mana senyum terpaksa, mana-mana cinta sepenuh jiwa. Dan menyirami jiwa mereka dengan cinta, lebih berharga daripada membelikan mereka mainan baru dan bagus.


Senang sungguh hidup di LN  saat anak balita, karena pergi dan pulangnya bisa sesuai kemauan mereka.


Semoga menit-menit bersama itu menumbuhkan mereka menjadi muslim/ah yang sholeh/ah, berguna untuk umat.


 


"I love you very very much Umi...every day I ilke you"  adalah 'gaji' yang tak ternilai harganya.


3. Tak perlu punya rumah karena banyak kontrakan. Di Scotland, kalau mau sabar dikit, bisa nyewa dari council yang super murah. Jika nyewa dari private landlord dan kebetulan dapat landlord orang Pakistan yang super baik, lima tahun nyewa, harga cuman beranjak 20 pons. Sodara seiman lah. Jadi, banyak cingcau juga.


Karpet jelek dan bulukan, lapor sama landlord. Diganti baru. Nggak perlu bayar mortgage/kreditan. Tak perlu berhutang melebihi kemampuan, hingga sabet sana sini, tak tentu lagi halal haramnya.


4. Nggak perlu stress ngejar karir. Nggak ribet mikir promosi dan sebagainya. Status kita abadi, cleaner, dan selalu cleaner. Harus bisa menerima, sebagai orang asing, berkulit coklat, dengan penampilan berbeda (jilbab) pekerjaan yang banyak tersedia ya cleaner. Wajar saja. Tak perlu diperdebatkan.


Bahagianya para ibu Indonesia yang bisa menopang ekonomi keluarga mereka dengan menguli di kantor dan sekolah. Cleaner namun bisa haji. Cleaner namun bisa jalan-jalan ke eropa (ada teman yang tur ke eropa dari hasil menguli).Cleaner, namun bisa banyak hal...


Nggak bikin kepala pusing, atau otak tersiksa...


Sepanjang bisa ngosongin tong sampah, bisa nyapu, bisa vacuuming, bisa ngepel, kerja di tangan. Apalagi, ibu-ibu Indonesia terkenal pekerja yang rajin, teliti dan baik.


Eh Hm.


Semoga, kembali ke anah air, kesederhanaan itu tetap terjaga :-)) Walaupun kembali ke tanah air = kembali kepada dunia menulis....dekat dengan pembaca Muthmainnah :-)) (*!"@!!)  Sungguh, menjadi Ibu di rumah sangat berharga. 


Tell me that I lost my fighting spirit, I care none of it (I know that I can be anyone I want, bi'idznillah) tapi, menemani mereka, sampai mereka tak perlu ditemani lagi adalah pilihan :-)


 


***


Sir Thomas Bertram (Mansfield Park: 'Anak yang dibesarkan dengan keprihatinan dan pendidikan moral, lebih berhasil menjadi manusia yang utuh daripada anak yang dibesarkan dengan fasilitas dan kemudahan'.


 


note:


Royal Mail, Christmas manual = pekerjaan di kantor pos local khusus Desember saja. Biasanya Royal Mail merekrut ratusan pekerja temporary.


Nursery = fasilitas penjagaan anak pemerintah untuk orangtua bekerja. Ada nursery yang mulai dari jam 7.30 – 18.00. Segala pilihan jam dan jenis nursery tersedia. Dari yang gratis, hingga membayar pun ada.

Jumat, 28 April 2006

Jadual Muhammad hari ini (katanya)

Bangun


Sholat Subuh


Sarapan


Tulis cerita di MP


Sekolah


Sholat Jum'at sama Abi dan Wafa


Bobo siang sambil baca buku


Bangun dan ngaji


Main internet cbebies


Makan malam


Baca buku lagi


Bobo sama Umi

muhammad's story (written by Muhammad, spelling helped by Abang)

one day the three bear live in together in the wood. And a noughty goldilock come and eat a porridge. Then she sit on baby bear chair, and she sleep baby bear bed. the end.

Selasa, 18 April 2006

Changiiii

wusss,


sampe di changi Singapur


ngobrol asyik sama Neng Nida :-))


doaiiiin, biar semua lancar niii


Mau boarding dulu :-))


(tanda kecanduan kah? )

Selasa, 11 April 2006

Gadis Terjorok....Ugh

Malam terakhir, kami disiksa lagi.


At one point, ketika disuruh telentang, lalu kaki diangkat seperti mengayuh sepeda. Saya asli nolak.


Aurat, bo!!


Dengan cuek kayak bebek duduk dan keluar barisan. Ofcourse, semua teriak, membentak. Kenapa keluar dsb.


"Sakit." Jawab pendek sebel. Sakit hati.


Ya udah, (quite surprising kalo dipikir-pikir sekarang....Hagi, Mak Tian, mau nanya dong, dulu kenapa ya saya bisa 'lolos' mulu??) duduk santai bersama tim P3K.


Lalu, sampai pada adegan, kita dibawa satu-satu ke tengah kebun teh. Mata udah ditutup. Trsu ditinggal menjelepok di antara dahan-ranting teh. Saya ngerasa, 2 Teteh sengaja milih saya untuk mengantar saya ke kebun teh. Kita membawa lilin di tangan.


Asli, sumpee, pikiran saya saat itu hanya ke satu hal. ULAAAR!!


Ulat kebun teh yang item dan mematikan. Sungguh, sama ular, walau nggak sampe phobia, saya punya banyak pengalaman 'dahsyat'. So, bermenit-menit...hanya satu saja yang dalam pikiran...


ULAAAAR.


Akhirnya, saya nggak tahan. Berdiri dan membuka mata, dan mencari jalan keluar.


"KENAPA lagi MAIMON!!"


Biasa deh, disambut 'mesra' tim tatib. he he.


"Sakit perut."


Emang bener, mules mikirin uler.


Setelah dibetein dan disebelin, saya boleh duduk bersama 'sahabat', tim P3K. Teh Wina dkk. Ada Nigar juga.


Eh, siapa tu, yang kayak bule, banyak didemenin Maba cewek? Nah, jadi banyak ngobrol, ketawa-ketiwi sama grup ini.


(cieee,....)


Sampai satu ketika.


"Eh, ini Jurnil kenapa ketawa-ketawa? BUka mata pula. Tutup MATANYA!!!" Teriak melengking.


Yaaa.


Selesailah diskusi asyiiiknya.


Otomatis jadi tidak asyik lagi ngobrolnya. Buta siih.


At one point, saya dibimbing, dimasukkan ke barisan teman-teman, menuju api unggun.


Say sih udah nggak ngeh, gimana-gimananya. Ilang orientasi. Yang jelas, sebagian anak cowok basah, berlumpur. Kena jebur. Api unggun juga setangh jadi. Pokoknya puncak acara itu gagal, maneh.


Sholat Subuh? Emang masih ada yang sholat?


Sholat dah kabur entah ke mana.


KAin sholat di mana, kita di mana.


Saya?


Kayaknya sih sholat, di sekolahan. Seadanya.


Saat sarapan, yang juga seadanya, mau nambah minum. Pakai bekas gelas bekas makan kacang hijau. Seorang panitia yang memang terkenal kecakepannya (bukan bule kesasar itu) nanya,"Kok airnya kotor?" Melirik air butek saya.


"Ini bekas kacang hijau, Kang."


"Iiiii, jorok ih!" Hidung bagus berkerut. Mata menyipit. "Cuci dulu, kenapa kek?"


Tergeragap...


Kotornya di mana? Kan bekas kacang hijaui?


Sang Kakang melengos.


Duh,...rasanya kok ya...jadi gadis terjorok sedunia...


Samar-samar terbau pula bau nggak mandi tiga hari....ketiak asem...kaus kaki busuk....


Hiks.


 

Senin, 10 April 2006

Spring Jemur!!

Weiis,


The first time this year!! Jemur di luar, our backyard.


Sekalian para bocah main mobil-mobilan.


Duh, senengnya....Udah bisa ngejemur di luar.


Nggak di heater mulu :-))


 

Sabtu, 08 April 2006

Pra OJ Jurnalistik 1992, Papandayan (bag 3)

Pra OJ Jurnalistik 1992, Papandayan (bag 3)

Habis Subuh, kami dibariskan, disuruh menunduk. Senior dan Dewa/i menyiapkan sesuatu. Saya tidak tahu apa. Setelah dimaki-maki, maka disuruh memejamkan mata dan membuka mulut.

HOEK!

Cairan yang entah apa, membuat perut saya bergejolak. Sesendok cairan itu tersembur.

Kembali, dibentak.

Sendokan yang kedua, saya memaksa cairan itu masuk ke tenggorokan. The worst drink ever! Katanya sih cairan botowali? Atau, minyak ikan? Entah lah.

Pagi dan siang diisi dengan ceramah. Tidak satupun ceramah senior nyantol di kepala saya. Sungguh :-))

Kami kemudian digiring menuruni Papandayan. Di satu lereng gunung, diadakan acara role playing. Kami, mahasiswa baru, diberi target mendapatkan sekian tanda tangan panitia Opspek dan sekian senior non panitia/dewa-dewi.

Di sini terbuka kemungkinan 'abusing of power'. Segala sexual harrasment dst.

Jelas saya siap-siap dengan ini. Saya hanya minta tangan pada lelaki yang 'aman'; bersedia disuruh apa saja asal tidak nyanyi, tidak joget, tidak sebagainya :-))

I don't know why, tapi, saya biasanya memang tidak disuruh macam-macam :-)) Paling disuruh nyanyi. Saya jawab, "Saya tidak nyanyi." Yaa, disuruh teriak, "Item, kamu ganteng deh." Ah, kalo cuman ngomong gitu aja, sih kecil. He he he.

Segerombolan senior duduk di saung. Ada Hagi dkk. Mereka sepakat memberi saya tanda tangan, jika saya bersedia mereka suruh sesuatu. Rejeki nomplok. Karena, at least ada 10 panitia dan senior.

"Ayo, Maimon, nyanyi."

"Saya tidak bernyanyi." Kalau nyanyi sendiri sih mau.

"Puisi? Bisa puisi?"

Bisa, cuma untuk  kalangan perempuan saja. "Saya tidak berpuisi."

"Jadi, bisa kamu apa?" Hagi dkk agak kesel. Mungkin setengah menyesal, sudah menjanjikan tanda tangan.

"Kalau pidato, gimana?"

"Ya deh. Sana."

Pidato itu tentang jauhnya kita dari Qur'an dan bagaimana seharusnya sebagai Muslim, kita harus kembali membuka Qur'an. Bla bla bla.Dunno, it just happened that way.

Sayangnya, saya kurang sensitif saat itu. Tidak mencoba melihat apakah pidato seperti itu pantas untuk mendapatkan tanda tangan senior.

Selepas itu, satu-satu mereka membubuhkan tanda-tangan.

Saya pun mencari tanda tangan berikutnya, tetap dengan tekad: tidak nyanyi, tidak joget, tidak puisi....


Pondok Salada (part 2: Subuh dengan Item)

Pra OJ Jurnalistik 1992, Papandayan (bagian 2)

Seusai pemeriksaan barang, kami diberi makan nasi bungkus. Setengah basi lagi :(

Gelonya, panitia menyuruh makan lauk dulu, sayur dan lauk, terakhir sambel. Pedas!

Tapi, sesusahnya kami dibiarkan sendiri, istirahat. Sebelum penyiksaan berikutnya. Hihi.

Subhanallah, dua panitia angkatan 91, (teteh cantik yang dua-duanya berjilbab setahun kemudian...Iya, Teh Wina dan sohibnya), mendekati saya.

"Maimon, pusing kan?" Lebih menuduh daripada bertanya.

Saya agak heran.

"Iya, Maimon sakit kan?" tekan sahabat beliau.

Yaa, karena dituduh gitu, ya, saya mengangguk.

"Ayo ikut kami."

Lalu dua-duanya cekikikan, ngajak saya ke tenda P3K. Di situ saya diperlakukan seperti teman baru. Ditawari makanan. Diajak diskusi. Ketika tidur, ditawari sleeping bag.

(Tetap sambil memikirkan teman-teman saya yang ...ternyata tidur di atas lumpur..... Syukur pada Allah. Ada saja kemudahanNYA).

Pagi Subuh, saya bertanya di mana wudhu. Seorang pemuda gondrong bernama Item mengantar ke sungai.

"Jangan liat ya."

"Nggak akan lihat."

Sementara Item menunggu sekitar 2 meter, saya menuruni tepian sungai Pondok Salada yang becek,  menuju sungai. Sulit melihat jalan di depan, karena geremang malam masih bersisa banyak.

Ketika sholat di tenda bersama teman-teman yang mulai terbangun satu-satu, sungguh saya kaget. Alas tenda basah, berlumpur hitam. Baju teman-teman dan jaket mereka sudah berlumpur juga. Wajah mereka kusut, nampak tak tidur semalaman.

"Bagaimana cara mau tidur di sini?"keluh mereka.

Nyes. Sedang saya tidur di tempat kering, berselimutkan sleeping bag yang hangat.

"Basah,,"sungut mereka.

Suhu Pondok Salada bisa drop minus celsius kala malam.

Jeri, karena saya sendiri yang nyaman.

Sholat pagi itu dengan perasaan tak menentu. Hanya bisa ruku. Sujud tak bisa, karena di atas lumpur.

Semoga Allah mengampuni.


jalan-jalan sepulang OYTR, London




jaraaang bisa foto berlima. Karena ada Etek Yeni, akhirnya, subhanallah, bisa foto bareng.

Jumat, 07 April 2006

Sirah Rasul di Iqra Channel by Amr Khaled

Rating:★★★★
Category:Other
Saya tak sengaja ikut nonton di rumah tetangga.
Disampaikan dalam bahasa Arab, namun karena ada subtitles bahasa Inggris, saya bisa ngikutin.
Air mata bercucuran, seakan dibawa terbang ke 14 abad lalu....
(satu saja yang kurang....kemilitansian...apapun namanya)

Mansfield Park

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Jane Austeen
Saya dah biasa baca buke Austeen. Cuman, MP baca lagi, setelah 3 tahun baca kilat.
Sungguh, the beauty of literature...
MP berbeda dari karya Austeen yang lain. Fanny tidak seperti Elizabent, atau Emma yang witty or cheeky. Fanny cenderung minder, diam, hampir tidak pernah bersuara, lemah dst.
Tapi, secara moralitas.....ck ck ck, that's the treasure that should be regain, by anyone.
Buku ini, menurut kritiks sastra, termasuk fenomenal.
Dan saya, pun, berulang-ualng membacanya masih menemukan 'indahnya'...Nggak bosen bo.

Desperately Seeking Paradise

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Ziauddin Sardar
Very funny, in many parts, touching. Although sometimes, I am against his views but his 'the journey of sceptical Muslim, in the west (Inggris) indeed gives a deep insights into what the meaning of being brought up in the west while trying to hold to his Muslim identity.
Many parts leave me to howling with laughter, some pages force me to think deeply.
One the best book ever written!!!

pulang ...pulang...kampuang

Start:     Apr 16, '06 6:00p
End:     Apr 25, '06
'kampuang nan jauh di mato...
gunung sansai bakulilieng...
takan jo kawan-kawan nan lamo....
sangkek den basuliang-suliang...

Kamis, 06 April 2006

Pondok Salada, Gunung Papandayan 1992 (part 1)

Kuliah di Jurnalistik, Unpad 1992.

Katanya, se-Unpad, opspek tersadis ada di jurnalistik. So, BEWARE.

Make sense. Kesan seram yang dibangun dari Sekeloa itu, wah, sungguh terasa.

Bayangkanlah, sebagian besar pemudanya gondrong, tanpa senyum. Pemudinya lebih gagah daripada yang lelaki. (Kemacoan saya mah belum apa-apanya!! Kalah, asli. Seniorita Jurnalistik were just sooooo ....masculine).

Dari Sekeloa, kami naik bus, berhenti di pangalengan. Lalu jalan ke atas. Lupa lah rutenya. Hagi bisa komen, karena dia Danlap. Kami dibagi kelompok kecil. Tiap kelompok memiliki pembimbing. Cipluk pembimbing kelompok saya. Karena saya 'korban (Baca: yang sering sakit) maka saya disuruh jalan di depan. Alasannya, supaya cepat lambatnya jalan kelompok sesuai dengan kemampuan saya. Tapi, jalan kebun teh yang naik dan turun tajam cukup sering juga terjungkal jatuh.

(Sebenarnya, saya merasa bukan perempuan manja. Sungguh. Hanya saja, kesehatan saat itu agak merosot karena berbagai faktor. Berpisah pertama kali dari keluarga. Merantau demikian jauh. Semua serba baru. Rutinitas P4 yang menyita energi. Dan hari itu, nasi (agak) basi yang disediakan panitia. Jadi saja, lemah.)

Kalau sama setrapan panitia sih biasa saja...Walo teriakan demikian membahana dan wajah memerah, saking marahnya, asal saya nggak salah, cuek.

Perjalanan naik turun kebun teh itu....walau sambil memanggul ransel, sungguh indah. Udara yang bersih, menyegarkan. Hijau daun membentang. Cool.

Seingat saya, saya satu kelompok dengan Ijul. Kami istirahat di kebun teh, memasak mie rebus. Air yang b
isa diminum hanyalah air ....sungai kecil berair coklat. Kami disuruh memasukkan tablet hitam ke dalam botol, sebelum meminum air coklat mentah itu.



Eniwei, kita sampai di satu tempat yang luar biasa. Punggung Papandayan, mengular naik. Di pinggir jalan sempit itu, jurang menganga dalam, penuh asap dan air menggelegak. Wuih, cantik, namun ganas.


Semua disuruh nutup hidung dengan mitela. Kita berjalan satu-satu, merayapi setapak berkerikil tajam itu.

Belum jauh naik, saya dipanggil. Ternyata, saya dinilai tidak akan kuat (yeee). Saya diminta ikut mobil panitia...

Ya sudah.

Yang saya ingat, turun dari mobil, jalan dalam kegelapan menuju base camp.

Saya baru gabung lagi dengan teman-teman saat pemeriksaan barang.

Waduh. Bentakan senior di telinga itu, sungguh menulikan telinga. Belum lagi cahaya lima senter ke wajah. Tapi, ya, nikmati saja.

Janntung saya baru seakan melorot saat Hagi berteriak, "Saya mendapat laporan, bahwa ada jurnal-jurnil yang memetik edelweis. Sungguh tidak beradab...bla bla...."

Oh noo. Siang tadi, saya memungut edelweis yang jatuh ke tanah...Dorongan ini lebih karena romantisme 'Sound of music' saja (Inget lagu edelweiss itu kan?)....Tapi, bukan metik. Sumpah.

"SIIAAAPPPPAAA?"

Halah, ngaku ajalah.

Saya angkat tangan.

"Tariiik!!! TARIIKK!!!"

Wuss, dalam sekejab saya ditarik.

Dimaki-maki orang sekampung deh.

Ya...iya ngaku salah. Tapi cuman mungut bukan metik.

"Oke, kamu perlu dihukum Maimon. Silahkan pilih." Hagi.

"Skot jam, Kang."

"Oke, berapa seri?" Hagi siap-siap ikut skot jam.

"Setengah."

"Hah?"

(Saya yakin Hagi sebel bangeet. Kok setengah seri? )

"Ya udah. Hitung yang keras."

1...2...3....4...5....6

Kembali ke barisan.

Tiba-tiba saya ditarik ke belakang....

"Ssttt....sini...Ikut kami."

Pemeriksaan barang itu...bayangkanlah....dikelilingi 5-10 senior. Semua membentak menanyakan benda yg wajib dibawa. Tiap orang nanya barang yg berbeda....senter disinari ke muka. Yang ada, jurnal/il kalang kabut buka ransel...sehingga segala pernak-pernik pribadi bisa dipastikan berserakan di tanah.

Ketika yang lain ditarik ke depan barisan, saya malah ditarik ke belakang barisan. Tiga pemuda. Yang satu gondrong banget. Halah, gemetar juga... Mau diapain sama pemuda tiga ini...??

"Oke Maimon, mana lilin kamu?"

Sekejab kilat saya mengobrak-abrik ransel, sedang bentakan, lolongan, makian membahana di sekitar saya. (Bukan ditujukan ke saya....)

"Ni Kang. Tidak patah." Saya mengacungkan ikatan lilin, sambil menahan nafas.

"Kacang hijaunya?"

Saya secepat kilat menukik ke ransel saya.

"Tenang saja Maimon. Kami tidak buru-buru. Santai saja." Satu suara.

Asli saya terperangah. Dipikir-pikir, dari tadi memang tidak ada bentakan. Malah ketika ditarik keluar, pakai, 'sst'....segala.

Asyiik. Saya mengeluarkan satu per satu barang, secara rapi.

Ketika sudah selesai, sang dewa menitahkan saya kembali ke barisan. "Jika ditanya, bilang, barang kamu sudah diperiksa, oke?"

Mengangguk penuh terima kasih.

Kembali ke barisan, sambil menunduk melirik teman-teman yang semena-mena dimaki dan disiksa.

Tiba-tiba. "Mana Maimon?"

Waaa, apalagi ni?

Noleh kiri kanan.

"Pst. Maimon. Kamu harus memberikan ......"

Kang Gondrong meminta beberapa bawaan wajib. Saya buru-buru membuka kembali ransel saya. Sedang di kiri-kanan bentakan itu tak jua melemah.

epilog.

Satu semester di Jurnalistik, saya tahu, tiga pemuda itu ialah Dandun cs....Mereka dengan tulus 'memilih' saya untuk 'melindungi' dari pengalaman buruk.

Hormat pada mereka....