Minggu, 24 Juli 2005

Si Hati Lembut Arik


Arik ( 5 tahun 6 bulan) anak yang suka membaca, main kereta dan menggambar. Dia bisa menghabiskan jam-jamnya dengan duduk di kursi kesayangannya, either membaca atau menggambar. Makanya, ketika Wafa belum asyik diajak main, Muhammad sering bete karena Arik lebih memilih duduk daripada lari-lari.


Dia sensitive dan lembut. Sesuai dengan karakter ini, dia juga 'slow'.  Menjelang pergi ke sekolah, selalu dipenuhi dengan belasan, "Arik, sudah habis cereal di mulutnya? Ayo suap lagi....." Atau, "Arik, liat jam, sudah jam berapa. Come on, hurry."


Sungguh, kadang bisa stress! Akhirnya, saya membiarkan dia dengan 'pace' dia. Hasilnya? Beberapa kali telat sekolah dan harus lapor office. Sengaja...biar dia belajar, kelambatan dia ada efeknya. Sekali, dia agak shaken, dan nampak mau jika diburu-buru. Dua kali telat, malah dia jadi enjoy!


'What's your name?'


'Arik.'


'What's classroom are you Arik?.'


'Miss Tucknottt.'


'What are you doing for dinner?'


'Pack lunch.'


Walah!


Kelembutan dia, kadang, membuat saya agak gerah. Daripada ngelawan, dia lebih baik mundur! Walau wajahnya memelas. Sementara society di sini penuh dengan bullying. Sungguh, kekuatiran saya ialah, dia akan menjadi sasaran empuk bullying. Ternyata, benar, namun, ada anak yang selalu siap membela Arik.


Leon, namanya. Leon akan menjadi penolong Arik. Beberapa kali saya melihat dengan mata sendiri, Leon mendorong anak yang mengganggu Arik. Pernah juga mendorong seseorang karena anak itu mengambil posisi berdiri Arik di line-up. "It's Arik's,"teriaknya.


Dengan sendirinya, (karena nama Leon selalu muncul...sampai Muhammad pun ngaku dia temannya Leon) saya dan ibu Leon jadi teman baik


Kelembutan Arik sering membawa air pada mata saya. Saat hamil Wafa, dua kali saya mengalami sakit luar biasa. Dua-duanya direspon Arik dengan mencium saya, tanpa kata.


Kemarin malam, saat siap-siap mau tidur, Arik komentar, "Abang mau ke Indonesia,Mi."


"Iya, Bang. Di Indonesia ada Pak Tuo, Mak Tuo. Kak Chica, Mak Dang, Dini, Dani..."


"Ada Mak." (Dia juga memanggil ibu saya dengan Mak).


Saya tersentak. "Mak nggak ada. Mak kan sudah gone ke Allah."


'Tapi Abang mau bertemu Mak."


"Makanya doakan Mak masuk surga, hingga Abang, Umi bisa bertemu Mak kalau kita juga masuk surga."


Hening.


Saat saya menyiapkan Wafa. Tiba-tiba.."Mi, I am very sad." Suaranya menahan tangis.


"Why?"


"Because ndak bisa ketemu Mak." lalu tangis tersembur.


Kerongkongan saya tersumbat.


 

Muhammad sang Heroik


Muhammad ( 4 tahun jurang 2 bulan) mempunyai jiwa heroik yang tinggi. Dia siap membela orang yang dicintainya, dengan harga apapun. Jika Arik kena marah, dia akan loyal pada abangnya dan bersedia menemani abangnya yang kena 'grounded'. Dia juga siap dengan logika pembelaan yang kadang lucu.


Satu pagi saya memecahkan gelas. Saat saya kerja (gantian dengan suami.) dia cerita pada abinya.


"Bi, Umi pecahkan gelas."


"Oh iya?"


"Iya. But it's okay Abi. Umi sudah big." (dengan nada suara bijaknya).


Saya ketawa habis pas suami lapor.


Mungkin karena beberapa kali mendengar retorika kita, "Bang, adik Wafa masih small, belum mengerti." Tapi apa koneksinya dengan 'sudah big'?


Pergi belanja dengan Muhammad akan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Dia akan menolong menjaga Wafa. Mengalihkan perhatian Wafa yang mulai bosan hingga Wafa tak jadi menangis. Dia juga (meniru kebiasaan saya) mengingatkan apakah barang yang saya beli mahal apa tidak.


"Ini buy one get one free, ya Mi?"


Ha ha ha.


Karena, memang, jika belanja di supermarket, mostly yang kita cari yang buy one get one free. Apakah itu sereal, kue, atau bread. Jika saya tidak jadi beli, biasanya dia akan komentar, "Mahal ya Mi?"


 Kalau ternyata bukan karena mahal, saya biasanya menjelaskan bahwa makanan itu tidak halal, karena bla bla. "Allah nggak suka kita makan yang haram, Muhammad."


Komentarnya? "Iya. Muhammad juga nggak suka." As if, his agreement is needed


Karena selalu mendengar, 'Anak-anak, listen, ini tentang Muslim,' dia sering lapor kalau dia melihat tivi tentang Muslim sama abinya. (Berita London bombing). Kadang keluar komentar, "Abang Amad kasihan ama Muslim."


May Allah bless his soul...


 

Rabu, 20 Juli 2005

London bomb dan keraguan muslim

Apa yang tersisa dari londan bombing? Selain rasa sakit yang memilukan, ada banyak tanya.


Blair menuntut Muslim untuk bertanggungjawab terhadap 'jihadist' atau 'suicide bomber'. Muslim harus looked deeply and question themselves, bla bla... Ada apa dengan 'Islam' hingga melahirkan 'teroris'.


Pemuda Muslim berontak. 'No way! Government should look at their foreign policy. Look at what happened in Iraq, Afghanistan, Bosnia. Look at the alleged torture of Muslim in Iraq or Guantanamo Bay. That's the potential breeding ground of frustration in Muslim youth. They think their goverment have a double standard'...which IT IS TRUE!!


Chapman House, thinktank independet mengeluarkan 'fatwa' bahwa invasi Inggris ke Iraq banyak berperan dalam breeding the terorist. Blair menolak dengan sangat tegas. Dia berkukuh, ajaran islam yang salah.


Sadly, Muslim Parliament, sejenis lembaga politik Muslim malah menodong sedikit mengancam para imam mesjid untuk menjaga 'mulut' mereka jika bicara...jangan sampai melahirkan 'monster' seperti london bombers. Hih!


Bagi kami, para Ibu? Yang ada kehati-hatian yang sangat jika keluar. Sebelum ini, saya sering mendapat abuse dari orang bule. Mulai dari jilbab ditarik, sampai diancam bunuh. Setelah ini, who knows?


But do you believe what you see? Hardly!


Setelah mendengar kedutaan Israel mendapat warning sebelum bomb, lalu Benyamin Netanyahu dilarang pergi ke daerah Liverpool Street...walaupun warning ini sempat dideny...but...tidak ada asap tanpa api, ceu nah.


Apalagi, the so call bombers kok malah ninggalin banyak forensic evidence?? Kayak nggak niat aja.Jangan-jangan mereka cuma korban yang tak sadar jika ransel mereka....yang mungkin titipin someone...berisi bomb.


Lucu juga ketika backpack sebesar itu dikatakan membawa bom seberat 5 kilo! Masa mesti bawa tas segede itu. Bikin susah gerak. Kenapa nggak tas yang lebih kecil. Trus kok malah pamit sama ortu, akan jalan ke London dengan teman.


Does not it ring a bell in your mind?


Surely it does in mine!!


 


 


 


 

Kamis, 07 Juli 2005

Buka Puasa Multi Etnis Newcastle

Buka Puasa Multi Etnis Newcastle*


(dimuat di Republika)


 


            Matahari meluncur cepat. Waktu seperti berlari.  Sebentar saja, kelam meliputi alam. Newcastle musim dingin memang berarti siang sangat singkat. Artinya, puasa mulai enam kurang seperempat, buka tiga lewat lima puluh. Hanya sembilan jam saja.


            “Jadi  ke mesjid, Mi?”  Suami menegurku. Aku mendongak ke jam dinding. Pukul tiga kurang.


            “Ya, Bi.”


            “Ayo. Anak-anak?”


Sejak tinggal di sini, aku terbiasa berbuka di mesjid. Setiap hari, ada yang menyediakan menu buka puasa, mulai dari minum sampai nasi. Bergiliran. Kemarin mahasiswa Arab. Sebelumnya mahasiswa Mesir. Komunitas Indonesia terjadual menyediakan buka sepekan lagi. Hari ini kali pertama aku ikut suami ke mesjid.


Aku bergegas mengeluarkan botol susu dari microwave. Aku selipkan botol itu di antara nappy si sulung dan si bungsu. Baju ganti mereka aku taruh di bagian lain tas.


Karena sudah musim dingin, aku memasangkan berlapis  baju pada mereka. Vest, fleece  dan jaket. Sebenarnya, suhu baru turun ke 2 atau 3 derajat celsius, tapi angin utara yang kencang terasa sedingin es.


            Selain baju berlapis itu, Muhammad yang baru berusia 9 pekan aku bungkus dengan sleeping bag dan selimut wol. Jika saja pram bayi yang dibawa, dia tidak perlu dibuntel serapat ini. Pram itu seperti tempat tidur tertutup yang diletakkan di atas pushchair atau kereta dorong bayi. Karena sulungku juga ikut, aku mengeluarkan tandem pushchair. Yang sulung duduk di depan, sedang bayi tidur di belakang.


            Begitu buka pintu, dingin menusuk tulang. Aku menyembunyikan tangan di dalam saku. Suami memanjangkan lengan jaketnya. Mendorong kereta bayi dalam cuaca seperti ini bisa membebalkan tangan, saking dinginnya. Jika sudah disiksa winter begini, aku selalu merindukan Indonesia yang hangat.


            Selain kami, ada suami istri di halte itu. Arab. Sang istri mengucapkan salam. Aku membalas senyumnya.


            “Subhanallah, kaya sekali mereka,”bisik suamiku.


            Aku tersenyum lebar sambil memaksa pandangan tetap lurus ke depan. Sepasang Arab itu dikelilingi anak berumur mulai dari sekitar 14 tahun sampai 2 tahun sebanyak…delapan orang!


            Anak perempuan terbesarnya melipat kereta bayi bayi mereka. Bus tidak mau membawa kereta bayi lebih dari dua. Jika si sopir sedang berbaik hati, mungkin dia mau menjejalkan tiga kereta bayi sekaligus. Pengalaman temanku usai tragedy 11 September lalu, bus berulangkali menolak membawa kereta bayinya dengan  alasan penuh. Padahal, hanya ada satu bayi di sana! Ada saja yang rasialis, memang.


            Bus muncul di tikungan setelah lebih seperempat jam menunggu.


            “Sudah terlambat.” Suamiku berulang kali melihat jam tangannya begitu turun bus. Saat ini dia salah satu pengurus mesjid. 


            “Abi duluan saja.” Aku menggantikan suami mendorong kereta bayi. Suamiku mempercepat langkah. Dia memang banyak terlibat mengurusi mesjid. Mulai dari mengunci mesjid, sampai menjadi imam shalat.


            Newcastle memiliki beberapa mesjid. Semua mesjid, kecuali mesjid tujuan kami, punya komunitas tertentu. Sayangnya, mesjid komunitas tertentu ini cenderung tertutup untuk muslim lain.


Mesjid di sini berbeda dengan mesjid di tanah air yang tegak anggun dengan menara dan bangunan indahnya. Mesjid hanyalah bangunan apa saja yang diubah fungsi menjadi tempat shalat. Satu mesjid bahkan sekedar flat lantai bawah. Mesjid kampus, begitu mesjid yang kami tuju biasa disebut, merupakan sekelompok ruangan di gedung King George VII Universitas Newcastle. Ruang shalat utama berukuran 10 X 8 meter. Ruang ini diperuntukkan untuk brother. Sister punya tempat sendiri sebesar 6 X 4 meter. Selain itu, mesjid memiliki perpustakaan, dapur dan gudang.


            “Langsung masuk, Mi.” Suamiku berseru dari belakang mobil. Mobil itu mengantarkan makanan ke mesjid. 


            Aku melepaskan sulung dari tali pengikat. Dia segera menaiki tangga ke dalam. Belasan anak usia sampai delapan tahun berlarian di lorong antara ruang brother dan sister.


            “Hati-hati Bang,”teriakku.


            Kemarin, kening Husna, balita pasangan mahasiswa asal Malaysia bengkak sebesar telor. Ibunya tidak mengetahui bagaimana anaknya bisa begitu. Suamiku wanti-wanti supaya aku menjaga sulung.


“Banyak anak Arab,”jelasnya. Sebenarnya, anak Arab baik. Hanya saja, cara bermain mereka lebih keras daripada anak Indonesia. Bagi mereka, mendorong atau berebut biasa saja. Ini juga yang membuat beberapa mahasiswa Indonesia urung menyekolahkan anak mereka ke sekolah Arab.


            “Karakter dasar bangsa kita berbeda. Anak kita kan terbiasa dilindungi. Makan kadang masih disuapi. Bergaul sama mereka kan bisa kaget atuh,”ungkap seorang ibu.


            Aku menggendong bayiku dan bergegas menyusuri lorong menuju ruang sister. Brother asal Arab tidak suka jika sister berada di lorong itu. Makanya, suamiku selalu menekankan aku harus buru-buru masuk ruang sister.


            Suamiku dan seorang brother menjinjing panci besar sekali. Diameter panci ada satu meteran. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk menahan beban. Dari panci mengepul asap. Harum baunya tercium sampai ke ruang sister. Gulai kambing.


            Panci itu bergabung dengan lima panci lainnya. Dapur kecil itu semakin sempit. Selain panci,  empat brother dan suamiku memenuhi dapur, menyiapkan ifthor. Ada yang menuang air ke gelas-gelas di atas puluhan baki. Ada yang membagi kurma ke piring. Suamiku menyerahkan baki terisi air pada anak-anak besar di depan dapur.


            Give it to sister, please,”pintanya.


            Aku membuka ruang sister dan menarik sulung ke dalam. Sedikit protes, dia mengikutiku.


            Ruangan hampir penuh.


            “Bu Andri,”sapa seseorang di sudut. Aku menoleh. Teman Indonesia. Sudut ini, tahun lalu, juga seakan kepunyaan ibu Indonesia. Setiap kali berbuka di mesjid, aku selalu duduk di situ bersama teman sebangsa.


            “Banyak ya?”


            Aku mengedarkan pandangan. Ruang berkarpet hijau itu disesaki ibu dan anak-anak. Wanita Arab membuat lingkaran besar. Mereka asyik berbicara dengan bahasa Arab. Suara lantang mereka terdengar sampai ke tempat kami. Tiga ibu berkulit hitam berkumpul di sudut lain. Beberapa ibu Malaysia mengelompok tak jauh dari sana. Anak-anak berlarian. Sulungku ikut bersama mereka.


Hiruk pikuk.


            “Haji Mustafa yang ngasih makan hari ini. Makanya orang rame,”ulas seorang ibu.


            “Enak pasti,”tambah ibu yang lain.


            “Alhamdulillah.”


            Haji Mustafa pemuka masyarakat muslim Newcastle. Dia memiliki beberapa toko pangan halal.


            “Kalau tidak makan di sini, kapan lagi makan enak. Nggak sanggup kita beli take away Haji Mustafa,”imbuh yang lain.


            Haji Mustafa memiliki toko take away masakan Pakistan. Aku pernah memesan chiken agra dari tokonya seharga delapan setengah pound atau seratus ribu rupiah lebih. Enak tapi mahal untuk ukuran kantong student. Chiken agra itu rasanya seperti singgang ayam Padang.


            Seseorang membuka pintu. Ibu Arab yang tadi. Dia juga ke sini. Kami kembali bertukar senyum.


            Beberapa anak keluar masuk membawakan kurma dan air minum. Gelas-gelas itu berpindah dari tangan ke tangan. Tak lama kemudian, dari pengeras suara terdengar azan.


            Seorang ibu membacakan doa berbuka keras-keras. Beberapa anak berebut makanan. Tangan-tangan kecil itu mengerumuti kurma. Pintu terbuka berkali-kali. Ibu-ibu masuk diikuti anak mereka. Ruang semakin penuh.  Paling tidak di sana duduk lebih dari lima puluh ibu dan anak.


            “Ributnya,”keluh seorang teman ketika kami selesai shalat.


            Kathrin, sister asli Inggris yang telah lama masuk Islam berdiri di depan pintu. Dia mengucapkan sesuatu, tapi aku tidak menangkap apa maknanya.


            “Brak brak brak!” Kathrin menggebrak pintu.


            Hening.


            Sister, please, make sure one tray is for at least four persons. We are so many today, and maybe there is no enough food. And, make sure after you eat, throw all the waste and give back the tray and spoons to the kitchen.” Kathrin mengedarkan pandangan ke sekeliling.


            Kata dia, nasi mungkin kurang. Orang datang lebih banyak dari yang biasa. Para ibu diminta duduk berempat satu baki.


            “Ayo bikin empat-empat,”temanku merubah posisi duduknya.


            Kathrin membagikan kertas waterproof, alas makan nanti.


            Seorang anak berwajah bule mengedarkan baskom berisi sendok.


            “Minta lagi. Kita masih kurang,”desak temanku yang datang dengan tiga anak remajanya.


            Seseorang mencowel anak bule itu.


            “Satu lagi,”temanku mengisaratkan dengan tangannya.


            Anak berambut emas itu tersenyum dan mengulurkan sendok.


            Tak lama kemudian, baki-baki berdatangan. Menu kali ini nasi pilau, kari kambing dan salad. Nasi pilau ini khas masakan Pakistan. Nasi ini dimasak dengan bawang Bombay dan semua bumbu India. Bawang diiris tipis dan ditumis sampai harum. Setelahnya, masuk kaldu ayam, bumbu, terakhir beras. Beras setengah masak dimatangkan di dalam oven.


Nasi pilau jenisnya banyak. Ada nasi pilau bawang putih, nasi pilau sayuran, nasi pilau ayam. Rasanya gurih dan spicy. 


            Satu baki untuk empat orang. Sepanjang makan, ada saja celotehan teman. Di Indonesia, cara makan begini hanya pernah aku jumpai di acara tahajud bersama Aa Gym, Bandung. 


            “Enak ya,”desis seorang teman.


            Nasi panas, salad segar dan kari kambing lembut memang memuaskan selera.


            “Ih, anak ini sudah tiga kali minta tambah lo.” Entah siapa mengomentari gadis kecil Arab.


            “Mereka, orang Arab, makannya lebih banyak.”


            “Yah, sesuai ukuran badan lah.”


            Aku perhatikan, ketika kami belum selesai menghabiskan isi baki, beberapa kelompok ibu Arab telah mengirim anak mereka ke dapur minta tambah.


            “Alhamdulillah.”


            Usai makan, saat duduk santai sembari menyusui bungsu, aku mendengar panggilan. Suara suamiku.


            Aku melongokkan kepala keluar ruangan.


            “Pulang sekarang yuk, Mi.”


            “Loh? Tidak cuci piring dulu?” Biasanya suamiku membantu mencuci peralatan kotor.


            “Belum makan nih.” Senyumnya main lebar.


            Keningku berkerut. “Kenapa?”


            “Tidak kebagian. Nasi habis.”


            Oh la la.


                                                                        Muth/Newcastle