Kamis, 06 April 2006

Pondok Salada, Gunung Papandayan 1992 (part 1)

Kuliah di Jurnalistik, Unpad 1992.

Katanya, se-Unpad, opspek tersadis ada di jurnalistik. So, BEWARE.

Make sense. Kesan seram yang dibangun dari Sekeloa itu, wah, sungguh terasa.

Bayangkanlah, sebagian besar pemudanya gondrong, tanpa senyum. Pemudinya lebih gagah daripada yang lelaki. (Kemacoan saya mah belum apa-apanya!! Kalah, asli. Seniorita Jurnalistik were just sooooo ....masculine).

Dari Sekeloa, kami naik bus, berhenti di pangalengan. Lalu jalan ke atas. Lupa lah rutenya. Hagi bisa komen, karena dia Danlap. Kami dibagi kelompok kecil. Tiap kelompok memiliki pembimbing. Cipluk pembimbing kelompok saya. Karena saya 'korban (Baca: yang sering sakit) maka saya disuruh jalan di depan. Alasannya, supaya cepat lambatnya jalan kelompok sesuai dengan kemampuan saya. Tapi, jalan kebun teh yang naik dan turun tajam cukup sering juga terjungkal jatuh.

(Sebenarnya, saya merasa bukan perempuan manja. Sungguh. Hanya saja, kesehatan saat itu agak merosot karena berbagai faktor. Berpisah pertama kali dari keluarga. Merantau demikian jauh. Semua serba baru. Rutinitas P4 yang menyita energi. Dan hari itu, nasi (agak) basi yang disediakan panitia. Jadi saja, lemah.)

Kalau sama setrapan panitia sih biasa saja...Walo teriakan demikian membahana dan wajah memerah, saking marahnya, asal saya nggak salah, cuek.

Perjalanan naik turun kebun teh itu....walau sambil memanggul ransel, sungguh indah. Udara yang bersih, menyegarkan. Hijau daun membentang. Cool.

Seingat saya, saya satu kelompok dengan Ijul. Kami istirahat di kebun teh, memasak mie rebus. Air yang b
isa diminum hanyalah air ....sungai kecil berair coklat. Kami disuruh memasukkan tablet hitam ke dalam botol, sebelum meminum air coklat mentah itu.



Eniwei, kita sampai di satu tempat yang luar biasa. Punggung Papandayan, mengular naik. Di pinggir jalan sempit itu, jurang menganga dalam, penuh asap dan air menggelegak. Wuih, cantik, namun ganas.


Semua disuruh nutup hidung dengan mitela. Kita berjalan satu-satu, merayapi setapak berkerikil tajam itu.

Belum jauh naik, saya dipanggil. Ternyata, saya dinilai tidak akan kuat (yeee). Saya diminta ikut mobil panitia...

Ya sudah.

Yang saya ingat, turun dari mobil, jalan dalam kegelapan menuju base camp.

Saya baru gabung lagi dengan teman-teman saat pemeriksaan barang.

Waduh. Bentakan senior di telinga itu, sungguh menulikan telinga. Belum lagi cahaya lima senter ke wajah. Tapi, ya, nikmati saja.

Janntung saya baru seakan melorot saat Hagi berteriak, "Saya mendapat laporan, bahwa ada jurnal-jurnil yang memetik edelweis. Sungguh tidak beradab...bla bla...."

Oh noo. Siang tadi, saya memungut edelweis yang jatuh ke tanah...Dorongan ini lebih karena romantisme 'Sound of music' saja (Inget lagu edelweiss itu kan?)....Tapi, bukan metik. Sumpah.

"SIIAAAPPPPAAA?"

Halah, ngaku ajalah.

Saya angkat tangan.

"Tariiik!!! TARIIKK!!!"

Wuss, dalam sekejab saya ditarik.

Dimaki-maki orang sekampung deh.

Ya...iya ngaku salah. Tapi cuman mungut bukan metik.

"Oke, kamu perlu dihukum Maimon. Silahkan pilih." Hagi.

"Skot jam, Kang."

"Oke, berapa seri?" Hagi siap-siap ikut skot jam.

"Setengah."

"Hah?"

(Saya yakin Hagi sebel bangeet. Kok setengah seri? )

"Ya udah. Hitung yang keras."

1...2...3....4...5....6

Kembali ke barisan.

Tiba-tiba saya ditarik ke belakang....

"Ssttt....sini...Ikut kami."

Pemeriksaan barang itu...bayangkanlah....dikelilingi 5-10 senior. Semua membentak menanyakan benda yg wajib dibawa. Tiap orang nanya barang yg berbeda....senter disinari ke muka. Yang ada, jurnal/il kalang kabut buka ransel...sehingga segala pernak-pernik pribadi bisa dipastikan berserakan di tanah.

Ketika yang lain ditarik ke depan barisan, saya malah ditarik ke belakang barisan. Tiga pemuda. Yang satu gondrong banget. Halah, gemetar juga... Mau diapain sama pemuda tiga ini...??

"Oke Maimon, mana lilin kamu?"

Sekejab kilat saya mengobrak-abrik ransel, sedang bentakan, lolongan, makian membahana di sekitar saya. (Bukan ditujukan ke saya....)

"Ni Kang. Tidak patah." Saya mengacungkan ikatan lilin, sambil menahan nafas.

"Kacang hijaunya?"

Saya secepat kilat menukik ke ransel saya.

"Tenang saja Maimon. Kami tidak buru-buru. Santai saja." Satu suara.

Asli saya terperangah. Dipikir-pikir, dari tadi memang tidak ada bentakan. Malah ketika ditarik keluar, pakai, 'sst'....segala.

Asyiik. Saya mengeluarkan satu per satu barang, secara rapi.

Ketika sudah selesai, sang dewa menitahkan saya kembali ke barisan. "Jika ditanya, bilang, barang kamu sudah diperiksa, oke?"

Mengangguk penuh terima kasih.

Kembali ke barisan, sambil menunduk melirik teman-teman yang semena-mena dimaki dan disiksa.

Tiba-tiba. "Mana Maimon?"

Waaa, apalagi ni?

Noleh kiri kanan.

"Pst. Maimon. Kamu harus memberikan ......"

Kang Gondrong meminta beberapa bawaan wajib. Saya buru-buru membuka kembali ransel saya. Sedang di kiri-kanan bentakan itu tak jua melemah.

epilog.

Satu semester di Jurnalistik, saya tahu, tiga pemuda itu ialah Dandun cs....Mereka dengan tulus 'memilih' saya untuk 'melindungi' dari pengalaman buruk.

Hormat pada mereka....



18 komentar:

WirdaYanti Mansur mengatakan...

Seru... :D
*ditunggu cerita selanjutnya...*

maimon herawati mengatakan...

siiip deeeh...
tunggu ya bu :-))

Dina Sulaeman mengatakan...

opspek..opspek... kalo di sastra arab, menyedihkan utk dikenang :(

Mimin _nih mengatakan...

eee... ini kisah beneran apa rekayasa nih? Baru tau kalo Uni Imun kuliah jurnalistik... Apa enggak (?) Hmm... yg jelas... ayooo.. ditunggu ceritanya Uni. Bikin serial lg donk...

maimon herawati mengatakan...

ceritaaa dong :-)

maimon herawati mengatakan...

he he he, kalo nggak percaya tanya Mak Tian Arief :-))
Pasti deh beliau ngaku sebagai salah satu dewa (cuman nggak tau, termasuk yang ganas nggak?, atau dewa penyelamat kayak Dandun, he he he.)
Ayo, Mak Tian, September 92, Mamak di mana?

Mimin _nih mengatakan...

Kalo Pak Tian adl kakak kelas Uni Imun aku tau, tapi kalo jurnalistik? hehe... baru tau

maimon herawati mengatakan...

waaaa, kirain dah pada tau! he he heh. Saya dulu adik kelasnya Pak Tian, di Jurnalistik, Unpad. Masuk 1992.
Lha, kalo Mimin di Unpad juga kah? (ngedip2)

Ummu Ihda mengatakan...

waduh... saya mah ngga ikutan yg di luar kampus..he..he.. curang lagian MIPA UI kan pesantren-nya UI jadilah pada ngga ada 'macem', ngapain dibawa ke puncak utk di gojlok he..he..

maimon herawati mengatakan...

kalau nggak ikut, nggak boleh ikut himpunan, katanya :-))

Mimin _nih mengatakan...

nggak, kalo aku mah adek kelasnya mbak HTR

maimon herawati mengatakan...

Iya,....he he he
Pan kita dah kenalan dulu....via email..
Lupa deh Tante....
Cerita dong ospeknya?

prajuritkecil tak bernama mengatakan...

sastra arab mana bunda...?
kalo sastra arab ui bukannya malah gak ada apa-apa...?

prajuritkecil tak bernama mengatakan...

tau gak teh yang paling menyakitkan saat OSPEK jurusan tuh apa...?
GAK BOLEH KETAWA...!!!
itu doank....
Menahan ketawa saat senior dan alumni bertingkah ajaib... bener2 menyakitkan..hikss..!!!

maimon herawati mengatakan...

Tul, Ra...
sangat menyakitkan...
Disuruh pura-pura takut...or cemas..pada saat mau senyum...
suseeeh

maimon herawati mengatakan...

Beliau ini pun saudaraanku seUnpad. Beliau bercerita ttg Ospek Sastra Arab Unpad :-)
Kayak apa sih Dina?
(Dina, udah melahirkan blum? )

Vina Pusvita mengatakan...

Seru dee ceritanya, lanjutin dunks Kak.. diantos hehehhe

Nyna Na mengatakan...

Kalo aku sih ga terlalu sedih, kan ada Teh Imun datang menyejukkan hati (itu loh ospek yang di Pedca Utara). Tapi sehabis Teh Imun pergi, stress lagi deh..... Terus cerita lagi ya Teh, biar kita ga usah beli buku.... he...