Minggu, 30 April 2006

Beruntungnya Hidup di Luar Negeri (evisi perbaikan...MPs chicken soup..

, dikomporin....ya sud...coba saja


Beruntungnya Hidup di Luar Negeri


Ah, alhamdulillah.


Allah mengaruniai nikmat tinggal di luar negeri ketika anak-anak masih balita. Datang dengan anak satu, berusia 4 bulan. Sekarang anak sudah tiga…


Sungguh beruntung hidup di luar negeri:


1.       Bisa hidup seadanya...tanpa harus tergoda untuk memiliki mobil atau TV flat screen.


Tidak perlu punya mobil pribadi, toh bus juga nyaman.  Bus ada ke mana saja. Walau kadang harus berjalan dari setopan bus terakhir ke rumah, tidak masalah. Kecil lah berjalan lima ratus meter itu. Hitung-hitung olah raga.


Bus dilengkapi heater/penghangat kala musim dingin, hingga badan yang menggigil menunggu bus, kembali hangat.  Sesekali bus tidak datang pada waktunya, atau melewatkan dua kali jadual berhentinya. So, menunggulah kita di setopan bus sejam lamanya. Ini biasa terjadi saat musim dingin. Paling kaki hilang rasa, tangan dan muka perih kedinginan. Apalagi jika ditambah tiupan badai North wind yang sebeku es. Dijamin sekujur tubuh menggeletar.  Namun, belum separah kena hipotermi. It’s okay.


Bus tertentu menerima kereta dorong bayi, hingga berjalan dengan tiga anak (asal memakai bus ini) mudah dan gembira. Anak-anak suka naik bus dan menempelkan muka ke kaca. Mata bening yang haus itu tak berkedip  melahap semua pemandagan di luar sana.  Saya  (jika belum selesai) melanjutkan dzikir harian, atau membaca koran gratisan.


Tak perlu beli TV. Toh TV buangan orang masih bisa ngasih gambar. Dulu, keluarga kecil kami bertekad tidak akan memiliki  tivi. No tv, no worry. Allah menumbuhkan rasa iba dalam hati seorang saudara. Maka diangkutnya lah sebuah tivi besar  dan kuno ke rumah.


“Supaya Umi Arik bisa mengikuti berita,”tambahnya.


Awalnya tivi tak pernah nyala. Namun, saudara yang demikian pemurah sering bertanya, bagaimana tv licensenya? Sudah bayarkah? Dan seterusnya. Maka, kami dengan amat takut menekan tombol on, dan cemas-cemas menunggu tampilan layarnya.


Alhamdulillah, ada petunjuk jam-jam aman dan tidaknya. Ada jam anak-anak, ada jam mak-mak (biasanya talk show atau cooking show), ada jam beritanya. Barulah malam, jam para hedonisnya.  Sepanjang membuka tivi pada jam-jam tertentu, insya Allah mata terjaga.


Amat sering kami menemui tivi buangan orang di alley. Sampai satu ketika tivi kuno itu menolak mengeluarkan gambar. Kami  lalu membuka pintu belakang dan melongok kiri-kanan. Tak sampai sepekan, tivi kecil teronggok di luar. Maka, bertukarlah posisi tivi itu. Yang besar keluar, dekat tong sampah, yang kecil bertengger di atas meja. Sederhana saja. Tak perlu ke mall, atau buka kredit barang elektronik.


Kami beruntung, karena di Inggris belanja di pasar loak biasa. Belanja ke charity shop tak masalah. Tidak ada 'image' rendah. Lain hal di Indonesia. Di mana, (Mak membelikan saya sepatu di pasar burung Padang) pasar loak adalah kelas lebih rendah :-(


Sebagian besar benda dalam rumah dibeli di pasar loak local. Namanya car boot sale. Mungkin, hanya satu dari 30 items yang dibeli baru. Baju kami hasil berburu di pasar loak. Once a while anak-anak dibelikan baju baru. Biasanya seragam sekolah. Selebihnya barang second hand. Anak-anak pun excited menunggu car boot sale buka. Mereka tak sabar mendapatkan buku dan mainan ‘baru’. Dan mereka tahu, yang penting bukan beli di mana, tapi fungsinya.


 


2. Bisa ngatur jam kerja semaunya. Sesuai kebutuhan anak-anak. Sesuai jadual nyusu bayi. Enaknya. Tinggal milih. Mau kerja jam 7? Jam 10? Jam 12? Jam 15? Semua ada. Mulai dari cleaner/petugas kebersihan di berbagai tempat, dinner lady/petugas makan sekolah atau loly pop woman, alias yang ngantar anak nyeberang.


Jamnya juga bisa milih. Bisa 2 jam sehari, bisa 3 jam sehari, bisa (bahkan) cuma 1/2 jam sehari.


Suka sekali, kerja 2,5 jam saja sehari, pergi anak-anak sudah kenyang dan senang main. Pulang ketika mereka memang minta Umi.


Alhamdulillah.


Karena tak ada lagi beasiswa, saya dan suami sama-sama bekerja sebagai cleaner. Suami ambil jam pagi. Sepulang kerja, langsung ke kampusnya. Saya bekerja sore. Saya kerja, suami di rumah. Setahun ini kami memutuskan suami sebaiknya tidak usah bekerja supaya makin kosentrasi menulis tesis.  Untuk mencukupi kekurangan bulanan, suami ikut Royal Mail, Christmas manual*. Hanya Desember, tiga pekan saja. Mulai kerja pukul 10 malam sampai 6 pagi. Menyortir surat, menstempel perangkonya. Berdiri 8 jam. Tidak sesusah saudara-saudara kuli pelabuhan yang mengangkut goni berpuluh kilo beratnya.


Pernah juga kami menjadi loper koran pekanan. Agen menurunkan tumpukan koran dan leaflet di rumah. Kami lalu memasukkan leaflet ke dalam koran.  Satu satu. Esoknya mengantar koran ke rumah-rumah di beberapa jalan. Pernah, ketika suami sibuk di kampus, saya mengantar koran bersama dua anak. Yang sulung sekolah. Yang bayi di dalam kereta dorongnya. Koran ditaruh di bawah kereta. Bersama anak tengah yang memegang kereta, menyusuri jalan dekat rumah, memasukkan koran demi koran.


Kali pertama jari-jari perih, lecet kena kertas dan tepi pintu. Sesusahnya, jari sudah kebal. Yang menakutkan paling jika harus memasukkan koran ke rumah-rumah tertentu yang memelihara anjing. Sungguh, jantung saya terlompat ketika membuka lobang surat dan ‘Guk guk’! Pintu berderak kena terpaan sepasang kaki dan satu moncong menarik koran. Beberapa lama kaki saya terhujam ke tanah, tak mampu bergerak. Sejak itu, saya selalu waspada.


Kerja loper koran ini, alhamdulillah, mendidik anak kami prihatin dan tahu diri. Mereka juga asyik terlibat dalam memasukkan leaflet ke dalam koran. Bahkan baru saja bangun, anak tengah sudah minta ijin kerja koran. Karena mereka demikian menolong, satu pekan gaji loperan dihadiahkan pada mereka untuk membeli  leap frog, mainan penolong membaca.


Alhamdulillah, karena kemahalan biaya, kami tidak mampu punya 'khadimat' alias pekerja domestik di rumah. Semua dikerjakan sendiri. Mulai dari belanja bahan masakan mentah, sampai memasaknya, dan menyuapkan kepada anak.  Dengan demikian, tidak ada masa anak bersama orang lain. Hingga, kami yakin, apa-apa yang mereka dengar, yang mereka serap semua sudah difilter :-)


Ada saja pilihan untuk memasukkan mereka ke nursery** pemerintah. Namun, sebisanya, kami menjaga anak di rumah. Tidak apa tidak punya uang lebih, namun anak selalu melihat dua wajah yang mencintai mereka dengan sepenuh hati.


Membiarkan mereka bersama orang lain (apalagi yang digaji...di mana kecintaan mereka belum tentu seikhlas kita) bagi saya agak mencemaskan. Bagaimana jika mereka tidak nyaman? Anak memiliki perasaan sangat halus. Mereka sangat tahu mana-mana senyum terpaksa, mana-mana cinta sepenuh jiwa. Dan menyirami jiwa mereka dengan cinta, lebih berharga daripada membelikan mereka mainan baru dan bagus.


Senang sungguh hidup di LN  saat anak balita, karena pergi dan pulangnya bisa sesuai kemauan mereka.


Semoga menit-menit bersama itu menumbuhkan mereka menjadi muslim/ah yang sholeh/ah, berguna untuk umat.


 


"I love you very very much Umi...every day I ilke you"  adalah 'gaji' yang tak ternilai harganya.


3. Tak perlu punya rumah karena banyak kontrakan. Di Scotland, kalau mau sabar dikit, bisa nyewa dari council yang super murah. Jika nyewa dari private landlord dan kebetulan dapat landlord orang Pakistan yang super baik, lima tahun nyewa, harga cuman beranjak 20 pons. Sodara seiman lah. Jadi, banyak cingcau juga.


Karpet jelek dan bulukan, lapor sama landlord. Diganti baru. Nggak perlu bayar mortgage/kreditan. Tak perlu berhutang melebihi kemampuan, hingga sabet sana sini, tak tentu lagi halal haramnya.


4. Nggak perlu stress ngejar karir. Nggak ribet mikir promosi dan sebagainya. Status kita abadi, cleaner, dan selalu cleaner. Harus bisa menerima, sebagai orang asing, berkulit coklat, dengan penampilan berbeda (jilbab) pekerjaan yang banyak tersedia ya cleaner. Wajar saja. Tak perlu diperdebatkan.


Bahagianya para ibu Indonesia yang bisa menopang ekonomi keluarga mereka dengan menguli di kantor dan sekolah. Cleaner namun bisa haji. Cleaner namun bisa jalan-jalan ke eropa (ada teman yang tur ke eropa dari hasil menguli).Cleaner, namun bisa banyak hal...


Nggak bikin kepala pusing, atau otak tersiksa...


Sepanjang bisa ngosongin tong sampah, bisa nyapu, bisa vacuuming, bisa ngepel, kerja di tangan. Apalagi, ibu-ibu Indonesia terkenal pekerja yang rajin, teliti dan baik.


Eh Hm.


Semoga, kembali ke anah air, kesederhanaan itu tetap terjaga :-)) Walaupun kembali ke tanah air = kembali kepada dunia menulis....dekat dengan pembaca Muthmainnah :-)) (*!"@!!)  Sungguh, menjadi Ibu di rumah sangat berharga. 


Tell me that I lost my fighting spirit, I care none of it (I know that I can be anyone I want, bi'idznillah) tapi, menemani mereka, sampai mereka tak perlu ditemani lagi adalah pilihan :-)


 


***


Sir Thomas Bertram (Mansfield Park: 'Anak yang dibesarkan dengan keprihatinan dan pendidikan moral, lebih berhasil menjadi manusia yang utuh daripada anak yang dibesarkan dengan fasilitas dan kemudahan'.


 


note:


Royal Mail, Christmas manual = pekerjaan di kantor pos local khusus Desember saja. Biasanya Royal Mail merekrut ratusan pekerja temporary.


Nursery = fasilitas penjagaan anak pemerintah untuk orangtua bekerja. Ada nursery yang mulai dari jam 7.30 – 18.00. Segala pilihan jam dan jenis nursery tersedia. Dari yang gratis, hingga membayar pun ada.

43 komentar:

ayi irma1 mengatakan...

tapi di sini dingin mbak brrrrrrr ... :-)

maimon herawati mengatakan...

lho, di sini sudah beranjak ke 11C loo.
Kok masih dingin di sana?

Ari Asnani mengatakan...

Amin.
Ari mau pulang juga bentarrr lagi, entah kenapa pada menggoda untuk tinggal, hiks...
Rie-

maimon herawati mengatakan...

tabah saja Mbak :-) Insya Allah (berdasarkan pengalaman kemarin) pulang ke negeri pertiwi, akan menyediakan banyak proyek amal. Paling urgent, pendidikan pada para ibu :-))

ayi irma1 mengatakan...

huhuhu 11C mah cuma setengahnya Indonesia maksudnya Ummi ...

taschan taschan mengatakan...

mbak imun kapan balik ke indo? bs sharing bnyk pngalaman tuh :) klo saya insya Allah sept nanti balik --yg sok kenal sama mbak imun--

maimon herawati mengatakan...

jadi 'dingin' gitu?
Iya, kayak masuk oven pas pertama sampai, he he he

maimon herawati mengatakan...

semoga bisa juga pulang tahun ini, Mbak :-)
Ingin sharing juga :-))

Ari Peach mengatakan...

Alhamdulillah ya Uni, banyak orang tinggal di 'luar negeri' menjadikannya ujub, pongah, dan merasa lebih glamor... dan banyak orang yang lain yang justru lebih down to earth - bisa melihat kesempatan untuk lebih bersyukur dan menambah dzikir... seperti Uni di bis. *Big hug*

maimon herawati mengatakan...

Semoga Allah menjaga kita dari sifat itu ya Mbak.
Allahumma a'udzubika minal jubni wal bukhli...

Ibrahim Abdul Kohar mengatakan...

"beruntung" tapi bayar pajaknya agung, dah! wah!

maimon herawati mengatakan...

iya, pajaknya gede :-)
Tapi, kalo penghasilan di bawah 'UMR' ya nggak bayar apa-apa, kan Pak?
*nyengir*

ummi nida aufal mengatakan...

bile tanah air nak macam yang Teteh tulis tu' ya? *bacanya dengan logat melayu ya teh..heheh*

maimon herawati mengatakan...

he he, all tu depend on kite lah...
*jangan lupa logat Singapurnya ya? he he*

abby handayani mengatakan...

salam kenal..:)
hhehe saya senang baca blognya...bener, selalu ada enaknya, dan enak terus jika kita penuh syukur dengan apa yang di berikan..:)

saya pertama di sini juga harus struggling buat hidup di sini, mencari kerjaan tidak semudah yang di kirakan, tapi selalu ada jalan buat yang berusaha..alhamdulillah..

thanks sudah berbagi pengalamannya..

maimon herawati mengatakan...

sama-sama Mbak.
Mbak di mana?

Ibrahim Abdul Kohar mengatakan...

nggak juga -- kerna sebenarnya tiap apa saja yang dibeli atau dikonsumsi sudah terkena pajak duluan alias bayar pajak tak-langsung atau tak begitu disedari lah. seperti salah satu macamnya yang terkena pajak tinggi itu kaum perokok. untung saya sih gak suka menghisap rokok.

maimon herawati mengatakan...

kalo pajak seperti itu....iya :-))
Tapi sejalan juga dengan ide pemerintah UK, 'perokok banyak menghabiskan dana kesehatan NHS, hingga dipajaki banyak'...

Ari Asnani mengatakan...

Wahhh ibu ini, kalau itu sih bukan bagian Ari :)
Malah kalau ada pendidikan untuk ibu Ari mo ikutan.
Rie-

maimon herawati mengatakan...

hm....
Menurut Imun, pengalaman kita di luar (banyak mandirinya) sangat perlu ditularkan pada sesama ibu di tanah air :-))
Misal, tanpa restoran dan gerobak dorong penjual makanan, kita survive...bikin bakso sendiri, bikin tempe sendiri, bikin mie goreng sendiri...Sehingga hidup lebih sehat...

maimon herawati mengatakan...

melihat sekitar (sepupu, ipar dsb)...lingkungan keluarga besar Imun lah...belum banyak yang jelas memakai satu konsep dalam mendidik anak...
*sedih*
Adanya anak nongkrong di depan tivi dari pagi sampai malam...atau vcd player..

Ari Asnani mengatakan...

Enggg... bentarrrr... mbak Imun sepertinya nyangka Ari sudah nikah ya? Hehehe... belum mbak, makanya Ari ga berani "ceramah" sama ibu-ibu, ga valid informasinya nanti :)

Kalau berbagi informasi seputar dunia mendidik dan pendidikan, kesehatan, atau ilmu pengetahuan boleh deh; tapi kalau pendidikan khusus seperti menjadi ibu, apalagi pendidikan anak, hehehe... ga cukup dengan teori aja mbak. Berabe nanti kalau Ari disambit lapis legit sama ibu-ibu, soalnya Ari bakal minta nambahhh,--- lapis legitnya :D
Rie-

Ummu Ihda mengatakan...

mau dong bagi2 ceritanya ttg pendidikan utk para ibu. Mungkin saja saya bisa persiapkan bahan2nya di sini, sebelum pulang

maimon herawati mengatakan...

Hm, misal...penanaman konsep disiplin, Mbak. Parenting skill. No shouting and hitting concept.
Imun banyak diskusi dengan Health Visitor. Ada sisi lemah dan kuat dari tiap metode. Lalu, mengkombinaskan dengan Pendidikan Anak dalam Islam. Konsep di bawah 7 = raja, realnya seperti apa. 7-14 prajurit. 14-up menteri...
Agaknya perlu dibaut juklaknya seperti apa :-)
(Ah, Imun sok tau dah....*nyengir doang)

prajuritkecil tak bernama mengatakan...

hiks...muhammad kalo di rumah yang diliat VCD mulu.... yang isinya lagu-lagu islam n petulangan Ping-ping dan Tupi. Tapi lumayan juga sebenernya buat dia eksplorasi banyak hal... ketimbang bengong liatin sinetron gak jelas... (ini kalo lagi dijagain khadimat, tau-tau pas ira pulang muhammad bleum tidur yang ditonton misteri ilahi...ihhh...mo marah!!!)

Indri Bahar mengatakan...

Bagus tuh Mun, bagi2 dong hasil diskusinya, ditunggu ya...untuk tambah2 ilmu.

maimon herawati mengatakan...

sammmaaa.
Mbak Ari, kalo menurut Imun, jadi pengamat atau pelaksana, banyak info menarik dari LN untuk dibawa pulang :-)
*judulnya keras kepala, he he heh

maimon herawati mengatakan...

iya, kasihan jiwa bersih mereka. Buku putih yang belum bertulis itu, sayang kalo dibiarkan acak kadul...

maimon herawati mengatakan...

he he he, malu aah....
masih belepotan juga kok prakteknya :-((
Mbak Ind ada dulu :-) Lebih pengalaman dari Imun

Mimin _nih mengatakan...

sama aja dg di sini kali ya uni, tetep ada struggle to survive. Cuma enaknya di sana kerja rendahan jg gak dianggap jelek (ato barang seken). Di sini orang2 terlalu kemakan gengsi.

Orang sini jg nganggep tinggal di sana prestis yg wuahhhhh bgt. Kayaknya kereeeen bgt gituh. Emang iya ni? Tapi aku yakin, pasti semua temen2 org indon yg tinggal di LN pasti kepengen balik, dan membangun negeri, meski di sana hidupnya enak bgt. Ya gak sih?

maimon herawati mengatakan...

hm, inti dari artikel ini sebenarnya:
kami hidup di LN penuh kerja keras...dan nggak sungkan melakukan itu :-(
Kok ketangkepnya yang lain, he he he
Yang jelas mah, dalam hati, tetap, pingin secepatnya kembali...

Ari Asnani mengatakan...

Jadi pengamat? Hehehe... pak Saiful pernah minta Ari nulis artikel "Jendela Rumah Tangga", trus Ari bilang, "Tunggu bentarrr, Ari tanya dulu rumah tangga siapa yang jendelanya boleh diintip." :D

Setuju mbak Imun, banyak info menarik dari LN yang bisa dibawa pulang, moga-moga aja ga pada ngeles... "Ah, itu kan di LN, kalau disini teh beda."
Rie-

maimon herawati mengatakan...

tul...
tugas kita, kali, 'membumikan' ide supaya cocok sama Indonesia :-)

prajuritkecil tak bernama mengatakan...

teh. pastinya di sana.. gak perlu ikutan demo kayak buruh dan pekerja di sini ya....???

Ari Asnani mengatakan...

Kalau di Canada sih demo ayuuuuk aja. Banyak demo disini, kemarin aja baru demo membela rakyat Darfur.
Ari mulai motret justru setelah rajin ikut demo soalnya berita demo tanpa foto itu ibarat sayur tanpa garam. Gereget demonya ga terasa kalau ga ada fotonya.
Rie-

maimon herawati mengatakan...

di sini nggak demo...tapi 'strike' mogok kerja...:-))
Nggak sekali dua...seriiing lah ya.

Mbak Rie: Betul...demo tanpa foto manalah asyik...Tanya Ira...

Dini Kuswidiani mengatakan...

ni...bikin buku dong....kayaknya seru nih kalo para ibu yg ok2 bikin buku ttg pengalaman parenting & rumahtangga.....hayooo uniiii ....ditunggu pisaaaaan

liliek hidayati mengatakan...

seperti cerita dongeng2 (ups..cerita ma dongeng bukannya sama)?
mau deh Mbak dicariin suami yang bisa ngajak hidup seperti keluarga Mbak..
he...he....(maksa)
sayang banget ya pulkam kemarin Mbak sibuukkkk banget....sedih deh ga bisa ketemu..hiks...hiks...

riga salampessy mengatakan...

enaknya kerja gak ninggalin anak...
memang kalo mo berangkat kerja tu.... was-was aja anak diasuh sama orang lain, tapi gimana lagi, pasrah aja.

ira yanti mengatakan...

Mun, ini Chicken Soup for Mom!. Touching... Gimana kalo ditambah sama berbagai Parenting Skill lainnya dengan lebih detil. Kan ada teori plus pengalaman. Don't be shy laaah... Siapa tahu jadi buku baru, he..he...

IrfanLisa PANCHA mengatakan...

kangen semuanya yang ada di Newcastle.
kangen Teh Imun juga.... dan anak-anak...
pengen kesana lagi gimana caranya ya???? :)

Yayan a.k.a Fathin mengatakan...

mbak salam kenal.... saya penggemarkarya-karya mbak...

salam
fathin

abid boedoyo (aka Weny K. Soeharjono) mengatakan...

Mbak, jangan bilang kalo fighting spirit-nya udah ilang... tapi sepertinya tersalur dalam bentuk lain, yaitu kasih. Subhannallah.. semoga tugasnya di sini selesai dengan lancar. Selamat menikmati ya... Salam kenal... -Weny