Pada saat investigasi teror Paris masih berlangsung, logika
yang harus didahulukan untuk mencari kira-kira pelaku adalah siapa yang
diuntungkan dari peristiwa tersebut. Siapa yang paling menuai keberuntungan, biasanya
dia yang berpotensi menjadi pelaku.
Ditemukan paspor Suriah di salah satu penyerang, demikian
rilis Republika yang mengutip Fox News. Kemarin,
terbukti paspor itu palsu (The
Independent 17/11). Penemuan paspor ini menjadi argumen pengunci penolak
imigran Suriah ke Eropa. Berbagai kicauan di sosial media mengecam pengungsi
Suriah yang menurut mereka masuk Eropa untuk meneror ini. Bukalah artikel
tentang bom Paris, bagian komen penuh dengan penolakan akan pengungsi Suriah.
Mereka juga menyalahkan Angela Merkel, Kanselir Jerman, yang
membuka perbatasan negara untuk pengungsi Suriah. Mereka menuntut Merkel
mengubah kebijakan pintu terbuka perbatasannya. Mereka juga minta komitmen awal
Uni Eropa untuk menyerap pengungsi Suriah dibatalkan. Polandia negara yang
paling awal menolak menerima pengungsi Suriah sesuai kuota yang ditetapkan Uni
Eropa (The Economist, 14/11).
Saat ini ada ratusan ribu pengungsi Suriah di Eropa yang
menunggu ditempatkan di negara tuan rumah. Sebagai catatan, hampir lima juta warga
Suriah mengungsi karena konflik dalam negerinya. Dua juta lebih diterima Turki.
Lebanon dan Jordan masing-masing satu juta lebih. Saudi menerima setengah juta,
tapi tidak dikategorikan sebagai pengungsi. Saudi menyebut warga Siria sebagai
saudara yang sedang kesusahan. Sisanya memencar di berbagai negara, termasuk
Uni Eropa. Dari negara Uni Eropa, Jerman penerima terbanyak, setelahnya Swedia,
sedang Perancis bersedia menerima 24 ribu pengungsi (UNHCR.org).
Jumlah pengungsi Suriah yang berlabuh di Uni Eropa memang
tidak sebanyak di Turki dan negara Arab lainnya, tetapi tetap angka yang besar.
Paspor Suriah yang ternyata palsu ini tetap menjadi alasan Barat menolak
pengungsi Suriah. Banyak negara bagian Amerika menolak pengungsi Suriah.
Selain paspor Suriah, ada pengakuan video tanpa tanggal yang
menyampaikan ancaman ISIS pada Perancis. Perancis tidak akan pernah damai dan
tenteram sepanjang terus tergabung bersama militer Amerika mengebom wilayah
penguasaan ISIS. Sehari sebelum teror di Paris, New York Times menulis Amerika meningkatkan serangan militer ke
wilayah penguasaan ISIS yang kaya minyak.
Andai ISIS
benar pelakunya, maka Amerika dan sekutu punya alasan jitu untuk menggempur secara
hebat wilayah kekuasaan ISIS di Irak, Siria. Ada pertaruhan besar di sini.
Amerika dan sekutu tidak akan membiarkan setetes darah warga negara mereka
tumpah di tanah mereka. Ada harga diri bangsa yang dipertaruhkan di sini. Dengan
kekuatan Amerika sekarang –tanpa sekutunya- sekali serang, Amerika akan mampu
menumbangkan ISIS.
Kekuatan
militer Amerika tidak sebanding dengan ISIS. Militer Amerika terbaik sedunia. Amerika
memiliki tentara aktif 1,3 juta orang, 13,900 pesawat tempur, 920 helikopter,
20 pesawat penumpang, dan 72 kapal selam. Anggaran militernya 9000 trilyun
rupiah (610 milyar dollar) pada 2014 jauh lebih banyak daripada anggaran
sembilan negara di bawahnya (Businessinsider, 29/09). Kekuatan ISIS menurut Daniel
Koehler, Direktur Institut Jerman tentang Studi Radikalisasi dan
De-radikalisasi (Girds) berkisar antara 40-50 ribu orang. Angka perkiraan
tertinggi adalah 200 ribu, tapi, ISIS kehilangan banyak pasukannya dalam
pertempuran (Independent,
28/06).
Jika Amerika ingin menumpas habis ISIS,
logikanya, tidak sulit menghabisi ISIS sekali gempur. Ingat, militer Irak yang
perkasa itu dihancurkan Amerika hanya dalam hitungan minggu. Kekuatan ISIS
sangat lemah dibanding militer Irak. ISIS dengan mudah akan hancur jika membuat
Amerika dan sekutunya sangat marah hingga memutuskan menumpas habis ISIS saja.
Benar saja. Minggu malam (15/11) Perancis
menyerbu Raqqa, daerah dalam penguasaan ISIS. Raqqa dianggap sebagai ibukota
daerah kekuasaan ISIS. Ini penyerangan terhebat Perancis sejauh ini. Operasi
ini dalam koordinasi bersama Amerika dan Perancis (Guardian 16/11).
Perancis menggunakan sepuluh pesawat tempur.
Dua puluh bom ditembakkan. Mereka menyerang lokasi rekrutmen ISIS, depot
amunisi, dan kamp pelatihan serdadu ISIS. Sumber militer yang dikutip Associated
Press menyebutkan penyerangan ini
sangat masif dan menghancurkan dua markas ISIS.
Serangan ini
diteruskan Selasa (17/11). Barat punya pembenaran untuk melumatkan
ISIS karena bom Paris dan video pengakuan itu. Amerika saja ikut menyerang
konvoi seratus lebih truk minyak ISIS di Suriah Selatan. Anehnya, Vladimir
Putin, Presiden Rusia, berjanji mendukung kelompok tertentu di Suriah untuk
melawan ISIS.
Ini tentu situasi yang perlu direnungi. Ada
apa ini? Mengapa Rusia dan Amerika mendadak sepakat untuk ‘memusuhi’ ISIS.
Jika benar ISIS yang menyerang Paris, akan
ada efek domino lainnya. Teror Paris ini menyudutkan muslim sedunia. Muslim
merasa tertekan karena penyerangan itu. Rasa tertekan ini menyebabkan sebagian mereka
menjauhi ISIS. Kampanye ‘Not in My Name’ bahkan sudah marak di
sosial media. Kampanye ini menolak cara ISIS berjuang. Kampanye ini untuk
menunjukkan pada sekitar kalau mereka secara idelogi bercerai dengan ISIS.
ISIS
teralienasi dari komunitas Muslim dunia. Bagi ISIS ini berbahaya karena mereka menyandarkan
diri dari ‘pasokan’ mujahidin dari berbagai belahan dunia yang terpanggil
secara ideologis untuk mendukung ‘khalifah’.
Siapa pelaku
teror ini sebenarnya?
Ada
alternatif lain. Jika ISIS yang beroperasi sekarang masih merupakan
perpanjangan tangan CIA dan Mossad seperti yang diisyaratkan Hillary Clinton
dalam wawancaranya dengan CNN dan Fox News dan seperti yang diyakini Noam
Chomsky, maka pemaknaan apa yang bisa diambil dari peristiwa ini? Mengapa
Perancis dan Amerika mengebom kelompok yang puluhan tahun lalu mereka latih dan
danai untuk melawan Rusia (dulu Uni Sovyet)?
Di sini
mungkin analisa lain muncul. Salah satu karakter ISIS adalah sifat fluidity gerakannya. Sifat berubah
dengan cepat dan tidak terkontrol. Pembentukan ISIS bisa jadi desain CIA dan
Mossad. Tapi, seiring dengan membanjirnya pengagum dan pengikut ISIS dari
berbagai belahan dunia yang lain, kontrol CIA dan Mossad bisa jadi tidak sekuat
awalnya.
Jika saat
ini ISIS tidak bisa dikendalikan, sedangkan mereka menguasai pipa minyak tempat
minyak Suriah dan Irak mengalir dan menghasilkan 700 milyar rupiah per bulan,
tentu saja keberadaan ISIS jadi menguatirkan. Logikanya, minyak yang sangat
berharga itu lepas dari genggaman.
Sebagian
tentu akan meragukan tangan tak terlihat CIA dan Mossad ini. Sesuai dengan
karakter operasi intelijen, faktanya akan tersembunyi. Jika faktanya terang
benderang, operasi gagal namanya. Kembalikan lagi saja pada siapa yang menuai
untung dari kekacauan ini semua. Jangan lupa, Desember tahun lalu, Perancis mengakui
Palestina sebagai negara. Agak terlambat dibanding negara Eropa lainnya,
memang. Pengakuan ini membuat Benyamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel,
berang.
(Maimon
Herawati, Dosen Jurnalistik Fikom Unpad/S2 Kajian Palestina di Skotlandia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar