Tadi mengisi kajian muslimah, 'Di Jalan Dakwah, Aku Menikah'.
Peserta memang dibatasi.
Saya mengisi sesi kedua tentang manajemen keuangan rumah tangga dakwah.
Saya akan ringkaskan (mohon maaf, dalil tidak semua saya kutip)
*
Menikah dalam dakwah berbicara tentang menyatukan dua kekuatan. Berkah atau tidaknya pernikahan itu nampak dari keadaan keduanya setelah menikah. Jika setelah menikah salah satunya atau keduanya hilang dari dakwah, pernikahan itu belum menyatukan dua kekuatan.
Yang terjadi, malah pernikahan itu menghilangkan potensi dakwah mereka. Kenapa? Entahlah.
Andai setelah menikah, kontribusi dakwah keduanya berlipat ganda, maka itulah hasil keberkahan pernikahannya. Satu tambah satu tidak sekedar dua. Bisa jadi sejuta.
Sebelum bicara tentang manajemen keuangan dalam keluarga dakwah, ada beberapa hal yang harus disepakati lebih dahulu:
1. Suami memiliki kewajiban memberi nafkah pada istri. Surat Annisa, 34 adalah tentang kepemimpinan lelaki karena mereka menafkahi istri. Nafkah ini semacam ‘gaji’ suami pada istri, untuk istri sendiri. Ini bukan uang belanja dapur.
Kewajiban istri pada suami adalah pelayanan istimta. Saja. Istri tidak wajib memasak, mencuci, atau mengepel. Berbeda dengan konsep ‘kasur, sumur, dapur; dalam Islam, istri hanya wajib mengerjakan ‘tugas’ di kasur. Jika istri kemudian juga memasak, itu sedekahnya pada keluarga. Harus ikhlas ya ibu-ibu, supaya pahala mengalir.
2. Dasar pernikahan dalam dakwah adalah taawun dalam kebaikan (Al Maidah, 2). Saling bantu, saling menguatkan, saling mengokohkan dalam dakwah. Walaupun kewajiban menafkahi di tangan suami, tapi jika keadaan menuntut, istri sangat terpuji jika membantu suami menanggung pembiayaan keluarga.
Setelah kita sepakat, maka kita perlu kenali harta terlaknat dan harta penuh berkah. Harta terlaknat adalah harta hasil riba, tercampur riba, atau hasil bekerja di lembaga yang menerapkan riba. Allah dan Rasul akan memerangi orang yang menawarkan riba, menggunakan riba, mencatatkan transaksi riba (Al Baqarah, 178-179).
Harta yang juga tidak akan membawa kebaikan adalah harta yang didapat dari usaha penimbunan barang hajat hidup orang banyak. Juga ada harta yang didapatkan dengan usaha yang mendholimi orang lain, atau didapatkan dengan menyuap dsb. (Al BAqarah 188).
Harta terlaknat ini akan membawa pada kebangkrutan (walau hasilnya sepertinya banyak), pelakunya bangun di akhirat nanti dalam keadaan gila dsb.
Harta penuh berkah adalah hata yang didapat di jalan yang baik dengan keringat sendiri. Walau sedikit, kalau halal, maka efeknya panjang. Sebaliknya, harta haram, cepat datang, pergi pun tidak terasa. Darah dan daging yang dibentuk dari uang haram, sesungguhnya akan jadi bahan bakar neraka. Oleh karena itu, keluarga hendaknya dibangun dari harta yang berkah (halal).
Manajemen keuangan harta berkah (halal) tetap diperlukan, walau ada jaminan efeknya panjang. Ketrampilan manajemen ini salah satu syarat efek panjang tadi, menurut saya.
Ada beberapa hal yang perlu dimiliki keluarga dakwah:
a. Sifat qanaah pada harta dan kehidupan. Cukup. Tidak berlebihan. Ambil ‘nilai’ tengah. Cara termudahnya, deteksi mana yang berupa ‘kebutuhan’, mana yang ‘keinginan’. Keluarga dakwah akan berusaha mencukupkan penyelenggaraan kehidupan mereka pada hal-hal yang masuk pada ‘kebutuhan’ saja. Sesekali, mangga jika akan memenuhi ‘keinginan’.
b. Menyisakan penghasilan untuk masa sulit. Harus menabung walau sedikit. Rasulullah menyuruh ini.
c. Sebelum menganggarkan uang untuk berbagai hal kebutuhan, keluarkan dulu zakat dan sedekah.
Saya membiasakan diri mencatat pengeluaran secara detil, sampai ke ratus rupiah untuk mengetahui ‘ritme’ pengeluaran sehingga tampak ‘lobang’ terbesar yang mengisap penghasilan itu. Jika lobang itu ada pada item makanan, maka saya akan sederhanakan. Sesungguhnya dari makanan, yang dibutuhkan itu kalori, protein dsb. Tidak harus beras pulen, beras local kelas dua pun bisa. Tidak harus keju sebagai sumber kalsium, ikan teri pun bisa.
Demikianlah....
Pernikahan dakwah tidak melulu tentang hilir mudik membersamai dakwah. Pernikahan dalam dakwah juga berarti mengokohkan dakwah dengan harta yang dimiliki. Minimal, jangan sampai jadi beban dakwah….
Peserta memang dibatasi.
Saya mengisi sesi kedua tentang manajemen keuangan rumah tangga dakwah.
Saya akan ringkaskan (mohon maaf, dalil tidak semua saya kutip)
*
Menikah dalam dakwah berbicara tentang menyatukan dua kekuatan. Berkah atau tidaknya pernikahan itu nampak dari keadaan keduanya setelah menikah. Jika setelah menikah salah satunya atau keduanya hilang dari dakwah, pernikahan itu belum menyatukan dua kekuatan.
Yang terjadi, malah pernikahan itu menghilangkan potensi dakwah mereka. Kenapa? Entahlah.
Andai setelah menikah, kontribusi dakwah keduanya berlipat ganda, maka itulah hasil keberkahan pernikahannya. Satu tambah satu tidak sekedar dua. Bisa jadi sejuta.
Sebelum bicara tentang manajemen keuangan dalam keluarga dakwah, ada beberapa hal yang harus disepakati lebih dahulu:
1. Suami memiliki kewajiban memberi nafkah pada istri. Surat Annisa, 34 adalah tentang kepemimpinan lelaki karena mereka menafkahi istri. Nafkah ini semacam ‘gaji’ suami pada istri, untuk istri sendiri. Ini bukan uang belanja dapur.
Kewajiban istri pada suami adalah pelayanan istimta. Saja. Istri tidak wajib memasak, mencuci, atau mengepel. Berbeda dengan konsep ‘kasur, sumur, dapur; dalam Islam, istri hanya wajib mengerjakan ‘tugas’ di kasur. Jika istri kemudian juga memasak, itu sedekahnya pada keluarga. Harus ikhlas ya ibu-ibu, supaya pahala mengalir.
2. Dasar pernikahan dalam dakwah adalah taawun dalam kebaikan (Al Maidah, 2). Saling bantu, saling menguatkan, saling mengokohkan dalam dakwah. Walaupun kewajiban menafkahi di tangan suami, tapi jika keadaan menuntut, istri sangat terpuji jika membantu suami menanggung pembiayaan keluarga.
Setelah kita sepakat, maka kita perlu kenali harta terlaknat dan harta penuh berkah. Harta terlaknat adalah harta hasil riba, tercampur riba, atau hasil bekerja di lembaga yang menerapkan riba. Allah dan Rasul akan memerangi orang yang menawarkan riba, menggunakan riba, mencatatkan transaksi riba (Al Baqarah, 178-179).
Harta yang juga tidak akan membawa kebaikan adalah harta yang didapat dari usaha penimbunan barang hajat hidup orang banyak. Juga ada harta yang didapatkan dengan usaha yang mendholimi orang lain, atau didapatkan dengan menyuap dsb. (Al BAqarah 188).
Harta terlaknat ini akan membawa pada kebangkrutan (walau hasilnya sepertinya banyak), pelakunya bangun di akhirat nanti dalam keadaan gila dsb.
Harta penuh berkah adalah hata yang didapat di jalan yang baik dengan keringat sendiri. Walau sedikit, kalau halal, maka efeknya panjang. Sebaliknya, harta haram, cepat datang, pergi pun tidak terasa. Darah dan daging yang dibentuk dari uang haram, sesungguhnya akan jadi bahan bakar neraka. Oleh karena itu, keluarga hendaknya dibangun dari harta yang berkah (halal).
Manajemen keuangan harta berkah (halal) tetap diperlukan, walau ada jaminan efeknya panjang. Ketrampilan manajemen ini salah satu syarat efek panjang tadi, menurut saya.
Ada beberapa hal yang perlu dimiliki keluarga dakwah:
a. Sifat qanaah pada harta dan kehidupan. Cukup. Tidak berlebihan. Ambil ‘nilai’ tengah. Cara termudahnya, deteksi mana yang berupa ‘kebutuhan’, mana yang ‘keinginan’. Keluarga dakwah akan berusaha mencukupkan penyelenggaraan kehidupan mereka pada hal-hal yang masuk pada ‘kebutuhan’ saja. Sesekali, mangga jika akan memenuhi ‘keinginan’.
b. Menyisakan penghasilan untuk masa sulit. Harus menabung walau sedikit. Rasulullah menyuruh ini.
c. Sebelum menganggarkan uang untuk berbagai hal kebutuhan, keluarkan dulu zakat dan sedekah.
Saya membiasakan diri mencatat pengeluaran secara detil, sampai ke ratus rupiah untuk mengetahui ‘ritme’ pengeluaran sehingga tampak ‘lobang’ terbesar yang mengisap penghasilan itu. Jika lobang itu ada pada item makanan, maka saya akan sederhanakan. Sesungguhnya dari makanan, yang dibutuhkan itu kalori, protein dsb. Tidak harus beras pulen, beras local kelas dua pun bisa. Tidak harus keju sebagai sumber kalsium, ikan teri pun bisa.
Demikianlah....
Pernikahan dakwah tidak melulu tentang hilir mudik membersamai dakwah. Pernikahan dalam dakwah juga berarti mengokohkan dakwah dengan harta yang dimiliki. Minimal, jangan sampai jadi beban dakwah….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar