Buka Puasa Multi Etnis Newcastle*
(dimuat di Republika)
Matahari meluncur cepat. Waktu seperti berlari. Sebentar saja, kelam meliputi alam. Newcastle musim dingin memang berarti siang sangat singkat. Artinya, puasa mulai enam kurang seperempat, buka tiga lewat lima puluh. Hanya sembilan jam saja.
“Jadi ke mesjid, Mi?” Suami menegurku. Aku mendongak ke jam dinding. Pukul tiga kurang.
“Ya, Bi.”
“Ayo. Anak-anak?”
Sejak tinggal di sini, aku terbiasa berbuka di mesjid. Setiap hari, ada yang menyediakan menu buka puasa, mulai dari minum sampai nasi. Bergiliran. Kemarin mahasiswa Arab. Sebelumnya mahasiswa Mesir. Komunitas Indonesia terjadual menyediakan buka sepekan lagi. Hari ini kali pertama aku ikut suami ke mesjid.
Aku bergegas mengeluarkan botol susu dari microwave. Aku selipkan botol itu di antara nappy si sulung dan si bungsu. Baju ganti mereka aku taruh di bagian lain tas.
Karena sudah musim dingin, aku memasangkan berlapis baju pada mereka. Vest, fleece dan jaket. Sebenarnya, suhu baru turun ke 2 atau 3 derajat celsius, tapi angin utara yang kencang terasa sedingin es.
Selain baju berlapis itu, Muhammad yang baru berusia 9 pekan aku bungkus dengan sleeping bag dan selimut wol. Jika saja pram bayi yang dibawa, dia tidak perlu dibuntel serapat ini. Pram itu seperti tempat tidur tertutup yang diletakkan di atas pushchair atau kereta dorong bayi. Karena sulungku juga ikut, aku mengeluarkan tandem pushchair. Yang sulung duduk di depan, sedang bayi tidur di belakang.
Begitu buka pintu, dingin menusuk tulang. Aku menyembunyikan tangan di dalam saku. Suami memanjangkan lengan jaketnya. Mendorong kereta bayi dalam cuaca seperti ini bisa membebalkan tangan, saking dinginnya. Jika sudah disiksa winter begini, aku selalu merindukan Indonesia yang hangat.
Selain kami, ada suami istri di halte itu. Arab. Sang istri mengucapkan salam. Aku membalas senyumnya.
“Subhanallah, kaya sekali mereka,”bisik suamiku.
Aku tersenyum lebar sambil memaksa pandangan tetap lurus ke depan. Sepasang Arab itu dikelilingi anak berumur mulai dari sekitar 14 tahun sampai 2 tahun sebanyak…delapan orang!
Anak perempuan terbesarnya melipat kereta bayi bayi mereka. Bus tidak mau membawa kereta bayi lebih dari dua. Jika si sopir sedang berbaik hati, mungkin dia mau menjejalkan tiga kereta bayi sekaligus. Pengalaman temanku usai tragedy 11 September lalu, bus berulangkali menolak membawa kereta bayinya dengan alasan penuh. Padahal, hanya ada satu bayi di sana! Ada saja yang rasialis, memang.
Bus muncul di tikungan setelah lebih seperempat jam menunggu.
“Sudah terlambat.” Suamiku berulang kali melihat jam tangannya begitu turun bus. Saat ini dia salah satu pengurus mesjid.
“Abi duluan saja.” Aku menggantikan suami mendorong kereta bayi. Suamiku mempercepat langkah. Dia memang banyak terlibat mengurusi mesjid. Mulai dari mengunci mesjid, sampai menjadi imam shalat.
Newcastle memiliki beberapa mesjid. Semua mesjid, kecuali mesjid tujuan kami, punya komunitas tertentu. Sayangnya, mesjid komunitas tertentu ini cenderung tertutup untuk muslim lain.
Mesjid di sini berbeda dengan mesjid di tanah air yang tegak anggun dengan menara dan bangunan indahnya. Mesjid hanyalah bangunan apa saja yang diubah fungsi menjadi tempat shalat. Satu mesjid bahkan sekedar flat lantai bawah. Mesjid kampus, begitu mesjid yang kami tuju biasa disebut, merupakan sekelompok ruangan di gedung King George VII Universitas Newcastle. Ruang shalat utama berukuran 10 X 8 meter. Ruang ini diperuntukkan untuk brother. Sister punya tempat sendiri sebesar 6 X 4 meter. Selain itu, mesjid memiliki perpustakaan, dapur dan gudang.
“Langsung masuk, Mi.” Suamiku berseru dari belakang mobil. Mobil itu mengantarkan makanan ke mesjid.
Aku melepaskan sulung dari tali pengikat. Dia segera menaiki tangga ke dalam. Belasan anak usia sampai delapan tahun berlarian di lorong antara ruang brother dan sister.
“Hati-hati Bang,”teriakku.
Kemarin, kening Husna, balita pasangan mahasiswa asal Malaysia bengkak sebesar telor. Ibunya tidak mengetahui bagaimana anaknya bisa begitu. Suamiku wanti-wanti supaya aku menjaga sulung.
“Banyak anak Arab,”jelasnya. Sebenarnya, anak Arab baik. Hanya saja, cara bermain mereka lebih keras daripada anak Indonesia. Bagi mereka, mendorong atau berebut biasa saja. Ini juga yang membuat beberapa mahasiswa Indonesia urung menyekolahkan anak mereka ke sekolah Arab.
“Karakter dasar bangsa kita berbeda. Anak kita kan terbiasa dilindungi. Makan kadang masih disuapi. Bergaul sama mereka kan bisa kaget atuh,”ungkap seorang ibu.
Aku menggendong bayiku dan bergegas menyusuri lorong menuju ruang sister. Brother asal Arab tidak suka jika sister berada di lorong itu. Makanya, suamiku selalu menekankan aku harus buru-buru masuk ruang sister.
Suamiku dan seorang brother menjinjing panci besar sekali. Diameter panci ada satu meteran. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk menahan beban. Dari panci mengepul asap. Harum baunya tercium sampai ke ruang sister. Gulai kambing.
Panci itu bergabung dengan lima panci lainnya. Dapur kecil itu semakin sempit. Selain panci, empat brother dan suamiku memenuhi dapur, menyiapkan ifthor. Ada yang menuang air ke gelas-gelas di atas puluhan baki. Ada yang membagi kurma ke piring. Suamiku menyerahkan baki terisi air pada anak-anak besar di depan dapur.
“Give it to sister, please,”pintanya.
Aku membuka ruang sister dan menarik sulung ke dalam. Sedikit protes, dia mengikutiku.
Ruangan hampir penuh.
“Bu Andri,”sapa seseorang di sudut. Aku menoleh. Teman Indonesia. Sudut ini, tahun lalu, juga seakan kepunyaan ibu Indonesia. Setiap kali berbuka di mesjid, aku selalu duduk di situ bersama teman sebangsa.
“Banyak ya?”
Aku mengedarkan pandangan. Ruang berkarpet hijau itu disesaki ibu dan anak-anak. Wanita Arab membuat lingkaran besar. Mereka asyik berbicara dengan bahasa Arab. Suara lantang mereka terdengar sampai ke tempat kami. Tiga ibu berkulit hitam berkumpul di sudut lain. Beberapa ibu Malaysia mengelompok tak jauh dari sana. Anak-anak berlarian. Sulungku ikut bersama mereka.
Hiruk pikuk.
“Haji Mustafa yang ngasih makan hari ini. Makanya orang rame,”ulas seorang ibu.
“Enak pasti,”tambah ibu yang lain.
“Alhamdulillah.”
Haji Mustafa pemuka masyarakat muslim Newcastle. Dia memiliki beberapa toko pangan halal.
“Kalau tidak makan di sini, kapan lagi makan enak. Nggak sanggup kita beli take away Haji Mustafa,”imbuh yang lain.
Haji Mustafa memiliki toko take away masakan Pakistan. Aku pernah memesan chiken agra dari tokonya seharga delapan setengah pound atau seratus ribu rupiah lebih. Enak tapi mahal untuk ukuran kantong student. Chiken agra itu rasanya seperti singgang ayam Padang.
Seseorang membuka pintu. Ibu Arab yang tadi. Dia juga ke sini. Kami kembali bertukar senyum.
Beberapa anak keluar masuk membawakan kurma dan air minum. Gelas-gelas itu berpindah dari tangan ke tangan. Tak lama kemudian, dari pengeras suara terdengar azan.
Seorang ibu membacakan doa berbuka keras-keras. Beberapa anak berebut makanan. Tangan-tangan kecil itu mengerumuti kurma. Pintu terbuka berkali-kali. Ibu-ibu masuk diikuti anak mereka. Ruang semakin penuh. Paling tidak di sana duduk lebih dari lima puluh ibu dan anak.
“Ributnya,”keluh seorang teman ketika kami selesai shalat.
Kathrin, sister asli Inggris yang telah lama masuk Islam berdiri di depan pintu. Dia mengucapkan sesuatu, tapi aku tidak menangkap apa maknanya.
“Brak brak brak!” Kathrin menggebrak pintu.
Hening.
“Sister, please, make sure one tray is for at least four persons. We are so many today, and maybe there is no enough food. And, make sure after you eat, throw all the waste and give back the tray and spoons to the kitchen.” Kathrin mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Kata dia, nasi mungkin kurang. Orang datang lebih banyak dari yang biasa. Para ibu diminta duduk berempat satu baki.
“Ayo bikin empat-empat,”temanku merubah posisi duduknya.
Kathrin membagikan kertas waterproof, alas makan nanti.
Seorang anak berwajah bule mengedarkan baskom berisi sendok.
“Minta lagi. Kita masih kurang,”desak temanku yang datang dengan tiga anak remajanya.
Seseorang mencowel anak bule itu.
“Satu lagi,”temanku mengisaratkan dengan tangannya.
Anak berambut emas itu tersenyum dan mengulurkan sendok.
Tak lama kemudian, baki-baki berdatangan. Menu kali ini nasi pilau, kari kambing dan salad. Nasi pilau ini khas masakan Pakistan. Nasi ini dimasak dengan bawang Bombay dan semua bumbu India. Bawang diiris tipis dan ditumis sampai harum. Setelahnya, masuk kaldu ayam, bumbu, terakhir beras. Beras setengah masak dimatangkan di dalam oven.
Nasi pilau jenisnya banyak. Ada nasi pilau bawang putih, nasi pilau sayuran, nasi pilau ayam. Rasanya gurih dan spicy.
Satu baki untuk empat orang. Sepanjang makan, ada saja celotehan teman. Di Indonesia, cara makan begini hanya pernah aku jumpai di acara tahajud bersama Aa Gym, Bandung.
“Enak ya,”desis seorang teman.
Nasi panas, salad segar dan kari kambing lembut memang memuaskan selera.
“Ih, anak ini sudah tiga kali minta tambah lo.” Entah siapa mengomentari gadis kecil Arab.
“Mereka, orang Arab, makannya lebih banyak.”
“Yah, sesuai ukuran badan lah.”
Aku perhatikan, ketika kami belum selesai menghabiskan isi baki, beberapa kelompok ibu Arab telah mengirim anak mereka ke dapur minta tambah.
“Alhamdulillah.”
Usai makan, saat duduk santai sembari menyusui bungsu, aku mendengar panggilan. Suara suamiku.
Aku melongokkan kepala keluar ruangan.
“Pulang sekarang yuk, Mi.”
“Loh? Tidak cuci piring dulu?” Biasanya suamiku membantu mencuci peralatan kotor.
“Belum makan nih.” Senyumnya main lebar.
Keningku berkerut. “Kenapa?”
“Tidak kebagian. Nasi habis.”
Oh la la.
Muth/Newcastle